Senin, 22 September 2008

Competency Based Human Resource Management (CBHRM)

CBHRM

Competency Based Human Resource Management (CBHRM) is an approach that links human resources activities such as learning and development, resourcing, performance management and human resources planning to a competency profile. As a result, CBHRM provides a common, simplified language and the necessary tools and flexibility for managers to address their human resources activities — all based on competencies. CBHRM will link HR activities to the business of the organization to improve business performance. It aims at achieving a good fit between each employee, the work and the work environment. This fit promotes improved work performance and job satisfaction.

A common framework of competencies provides the means for integrating all aspects of the HR system so that employees are selected, evaluated, developed, promoted and rewarded based on competencies that support organizational success. By communicating these competencies, organizations empower employees to take charge of their careers, direct their own personal development, and continually self-evaluate and improve. At the same time, the framework allows the organization to proactively plan for its human resource needs both in the immediate and long term, and to establish programs that support employees in acquiring the competencies needed for organizational success.

Planning for Competency-based Human Resource Management It takes effort and commitment to implement a fully-elaborated and integrated competency-based human resource management (HRM) system. It is important, therefore, to take the time to evaluate the needs of the organization, and to create a strategy and plan that will meet these needs - in other words, getting it right the first time.


Definitions

Competency Profile: A profile is a set of competencies related to a function/job or an employee.

Competency: A competency is “any skill, knowledge, or other attribute that is observable and identifies successful performance”. Effectively, competencies translate the strategic vision and goals for the organization into measurable and observable behaviours or actions which employees must display.


Articles

CBHRM - Planning for Success by Suzanne Simpson, PhD. & Lorraine McKay, M.A, CHRP, C. Psych.

CBHRM - That Works! by Suzanne Simpson, PhD. & Lorraine McKay, M.A, CHRP, C. Psych.

Jumat, 12 September 2008

COMPENSATION PLANNING


Perusahaan, dalam merencanakan kegiatannya memerlukan struktur dan system kompensasi yang efektif dan berdaya guna untuk kebutuhan perusahaannya. Hal ini diperlukan untuk kelangsungan hidup dari perusahaan. untuk memenuhi kebutuhan tersebut setiap perusahaan dapat membuatnya langsung sendiri dengan memberdayagunakan HRD di perusahaannya atau juga dapat dengan meminta bantuan dari lembaga konsultan yang terpercaya untuk merancang & mengembangkan Rencana Kompensasi Perusahaan / "Corporate Compensation Planning".Memang diakui bahwa menggunakan konsultan akan memerlukan biaya yang tidak sedikit (bahkan hingga puluhan juta rupiah) sehingga akan membebani perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang akan berkembang. Bagi perusahaan besar, tentu saja hal ini akan sangat mudah dilakukan, karena persoalan biaya tidak menjadi masalah.Terdapat beberapa kriteria hal yang perlu dilakukan dalam merencanakan system kompensasi adalah :1. Internal & External EquityKonsep ini adalah konsep keadilan dimana pada Internal Equity diasosiasikan sebagai keadilan di didalam perusahaan. Apakah penggajian akan diberlakukan sama terhadap semua yang memiliki jabatan yang sama dalam perusahaan tersebut. Sedangkan External Equity diasosiasikan sebagai keadilan dengan kondisi pasar. Apakah dengan jabatan yang sama akan akan diperoleh sistem penggajian dibawah, diatas atau sama dengan pasar ? Beberapa konsep I/E Equity ini adalah : Distribution Justice Model, Labor Market Model & Balancing Equity.2. Fixed versus Variable PayDalam konsep ini perusahaan dituntut untuk menjalankan sistem kompensasi yang berbasis gaji tetap atau dengan menggunakan beberapa variable. Penggunaan variable pay sudah umum dilakukan pada department sales dimana mereka diharapkan untuk mencapai target perusahaan. Semakin besar variable pay yang ditawarkan akan mengakibatkan semakin besar risk yang dialami karena profit dari perusahaan akan mempengaruhi kompensasi yang diperoleh. Fixed pay sudah menjadi hal yang sangat umum dilakukan di Amerika, karena hal ini dimaksudkan untuk menghindari resiko yang dialami oleh perusahaan dan karyawannya. Namun hal ini berkaitan juga dengan regulasi yang diterapkan disana. Sedangan di Indonesia, penggunaan variable pay sudah ada aturan baku dimana maksimal variable pay adalah 25% dari total gaji yang diperoleh.3. Performance versus MembershipKriteria ini dilakukan untuk melihat apakah kompensasi ditekankan pada performance dan ditujukan kepada individu atau kontribusi group atau ditentukan dari jumlah member organisasi dan kuantitas jam kerja.4. Job versus Individual PayKriteria ini ditujukan pada keinginan perusahaan yang hendak menjadikan dasar kompensasi merujuk pada bagaimana perusahaan menilai sebuah pekerjaan atau pada perusahaan yang ingin menstandardkan pada seberapa jauh skill & knowledge yang dimilki perusahaan.5. Egalitarianism & versus ElitismPerusahaan wajib menentukan apakah akan menetapkan Sistem Egalitarianism, dimana "Pay Plan" diterapkan kepada seluruh member dengan sistem kompensasi yang sama. Sedangkan Sistem Elitism mengharuskan untuk penerapan yang berbeda pada setiap member organisasi.6. Below Market versus Above Market CompensationPerusahaan juga harus mulai menetapkan dirinya untuk fokus pada dibawah pasar atau diatas pasar.7. Monetary versus non Monetary AwardsKriteria ini dilakukan untuk menetapkan apakah perusahaan akan menjalankan sistem kompensasi yang berbasis monetary seperti reward bonus dan saham atau berbasis non monetary yang sifatnya intagible seperti pekerjaan yang menarik dan job security.8. Open versus Secret PayKonsep penting yang harus dilakukan adalah kerahasiaan. Top Management wajib mengakomodasi hal ini dengan menetapkan standard bahwa arah kebijakan perusahaan menganut kompensasi terbuka atau tertutup (rahasia) sehingga pelanggaran terhadap hal ini dapat mengakibatkan PHK.9. Centralization versus Decentralization of Pay DecisionArah kebijakan juga harus dilakukan terhadap keputusan-keputusan yang diambil. Perusahaan wajib memilih apakah kebijaksanaan sistem kompensasi dilakukan secara terpusat dari induk perusahaan atau bisa didelegasikan hingga ke cabang-cabang perusahaan.Dengan menjalankan dan menetapkan langkah-langkah tersebut, perusahaan dapat melakukan sistem kompensasi yang efektif untuk perusahaan dimana "visi dan misi" perusahaan dapat terwujud serta didukung oleh team membernya.


Ref.
1. Managing Human Resources, Gomez-Mejia, Prentice Hall
2. Human Resources Management, Noe, McGraw-Hill
3. Human Resources Management, Robert L Malthis, South Western
4. Management Sumber Daya Manusia, Dr.Ir.Tb.Sjafri Mangkuprawira
5. Erisa Ojimba, Certified Compensation Professional

Should Western managers be encouraged to adopt JMP's?

Should Western managers be encouraged to adopt JMP's?
Dawn M. Naylor

Over the last 20 years there has been increasing interest by Western companies in Japanese management practices (JMPs). Interest in these methods has grown as a result of the large performance gaps which apparently exist between Japanese manufacturers and their Western counterparts, in terms of both productivity and quality. Looks at a number of studies in an effort to determine whether Japanese practices can be successfully transferred abroad or whether they are culturally bound. This is followed by a look at the conditions under which Japanese management practices have been successfully utilised by Western companies. It is argued that Western managers must avoid just blindly copying Japanese practices and should be encouraged to become aware of why certain Japanese approaches have been successful. Finally, consideration needs to be given to the underlying factors of that success which are necessary and appropriate to their own company's advancement.

Keywords: Japanese management styles, Corporate governance, Convergence
Article Type: Literature review, Theoretical with application in practice
Content Indicators: Research Implication- *, Practice Implication- **, Originality- **, Readability- **

Senin, 08 September 2008

Menyiapkan CEO atau Preman?

Tantangan HR: Menyiapkan CEO atau Preman?
Oleh: Meisia Chandra

Kepemimpinan selalu menjadi topik yang menarik. Penulis buku laris Built to Bless Paulus Bambang WS dalam acara Good Morning Partner 2 di Hotel Intercontinental MidPlaza, 6 Agustus lalu menyinggung isu itu dengan memadukan berbagai teori yang ditemuinya di buku-buku dan pengalaman pribadinya yang sangat berharga. Isu yang menarik itu menjadi semakin menggelitik. Memang, krisis kepemimpinan terjadi di mana-mana dan dalam setiap waktu.


Fakta bahwa tidak semua orang bisa menjadi pemimpin seperti ditegaskan Ram Charan dalam buku Leaders at all levels (John Wiley & Sons, Inc, 2008) menjadikan pencarian pemimpin adalah tugas yang tidak pernah berhenti. Seorang pemimpin secara alamiah berbeda dari orang-orang lain. Mereka berpikir dan bertingkah berbeda dengan lingkungan sekitarnya. HR harus selalu mempertajam kemampuan observasi untuk bisa menemukan orang-orang aneh ini. Dengan berkelakar, Paulus mengatakan seorang yang tampil beda, pilihannya ada dua, apabila bukan menjadi CEO maka dia akan menjadi preman.


Kabar baiknya, kita sebenarnya tidak pernah kekurangan raw talent. Kualitas raw talent dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan pengalaman dalam dunia kerja yang sebenarnya. Kesalahan selama ini dalam mencari pemimpin adalah kita selalu mencari superman. Padahal tidak ada superman, setiap talent memiliki kelemahan dan kekuatannya masing-masing. Dan dalam setiap fase perkembangan bisnis ternyata membutuhkan karakter pemimpin yang berbeda-beda. Dengan pengalamannya selama ini, Paulus mendefinisikan 7 jenis karakter pemimpin yaitu: Dreamer, Architect, Builder, Sharper, Inventor, Harvester, dan Operator.


Tipe Dreamer adalah pemimpin yang fokus pada masa depan, selalu visioner dan menggunakan pendekatan jangka panjang, memiliki banyak ide kreatif dan inovatif. Ciri-ciri tipe ini adalah kata-kata favoritnya seperti : masa depan, visi, misi, investasi, inovasi, hal baru yang harus dilakukan. Tipe Architect adalah pemimpin yang mampu membuat blue print yang jelas, road map, flowchart dan fase transformasi dalam perusahaan. Pendekatannya tahapan demi tahapan. Kata-kata yang disukainya misalnya framework, blue print, fase, dimensi.


Tipe Builder dapat mengeksekusi rencana dengan baik dan perhatiannya sangat detil terhadap progres dalam setiap fase. Dia akan memeriksa setiap detil untuk mencari kemungkinan mempercepat proses. Kata-kata favoritnya seperti activity plan, control points, resources, budget, delivery, kualitas, action. Tipe Sharper pandai meningkatkan efektifivitas dan efisiensi dalam proses bisnis internal dan membangun sistem untuk lebih memuaskan konsumen sehingga meningkatkan daya saing. CRM, SCM, MCM adalah sebagian kata yang disukainya dan dia juga suka mengimplementasikan tools-tools baru seperti TQM, BSC dan 6 sigma.


Inventor memiliki kemampuan untuk menangkap peluang yang ada di depan. Selalu memiliki ide baru untuk diterapkan di pasar, untuk memenangkan persaingan, dan menutup deal. Kata-kata yang disukainya: fight, negotiate, close the deal, do it now, discount, package deal. Harvester merajut cakrawala baru dalam perusahaan, mencari kurva S kedua, kemampuan mengganti arah perusahaan dengan mendapat dukungan dari semua bawahan. Cara mengenali tipe ini adalah mereka sering mengatakan changing the rule of the game, new ways of doing new things, new product, new projects.


Tipe terakhir, Operator bekerja berdasarkan goal dan target yang sudah ditentukan. Mengelola resource dan tim dan administer dengan detail. Mereka suka mengatakan KPI, target, goal, review, outlook, corrective action, formulir, SOP. Termasuk tipe manakah Anda? Mudah-mudahan Anda adalah tipe pemimpin yang sesuai dengan masanya. Dan tugas HR adalah mengidentifikasikan talent ini sedini dan setepat mungkin.

Senin, 25 Agustus 2008

360-Degree Performance Appraisal Systems

360-Degree Performance Appraisal Systems
Author: Neil M. Boyd a
Affiliation: School of Behavioral Sciences and Education, Penn State University, Capital College, Middletown, Pennsylvania, U.S.A.
Abstract
A 360-degree performance appraisal system is a multisource assessment approach that taps the collective wisdom of those who work closely with an employee. The employee and their supervisors, colleagues, direct reports (subordinates), internal customers, external customers, and others may be part of the evaluation process.

Proponents of the 360-degree feedback approach offer it as a “progressive” means of conducting performance appraisal. Many contend that 360-degree feedback systems and other forms of multisource or multirater assessment methods in organizations have evolved from an innovative “nice-to-have” technique administered only to the most senior levels to a “must-have” tool for integration into overall performance and human resource management strategies. These systems appear well suited for the flexible, team-based, change-oriented organizational cultures of many organizations today.

360-Degree systems are gaining popularity because they tend to reduce the problems of previous generations of assessment methods. 360-Degree appraisal moves the manager (as appraiser) back into the “comfort zone” as she or he is now only one among a number of assessors. It greatly reduces the problems of central tendency, positive skewness, and “halo effects” in ratings that plague the boss-subordinate approach. 360-Degree appraisal reduces defensiveness on the part of the appraisee because there are a variety of assessors, feedback is presented as more balanced, and it is said to have greater face validity. It requires organizations to resolve the issue of what is meant by job effectiveness and what behaviors are causally related to it. It recognizes that subordinates are best placed to assess “leadership” or “people management” skills. The technique is helpful in defending legal challenges of the outcome of appraisals, it is presented as important in meeting the demands for employee empowerment and involvement, and finally, it is a useful tool in tapping employee opinions and attitudes.

Selasa, 19 Agustus 2008

DEVELOPING A HRM STRATEGY

Human Resource Management
Developing a HRM strategy
Faced with rapid change organizations need to develop a more focused and coherent approach to managing people. In just the same way a business requires a marketing or information technology strategy it also requires a human resource or people strategy.

In developing such a strategy two critical questions must be addressed.

What kinds of people do you need to manage and run your business to meet your strategic business objectives?
What people programs and initiatives must be designed and implemented to attract, develop and retain staff to compete effectively?
In order to answer these questions four key dimensions of an organization must be addressed. These are:

Culture: the beliefs, values, norms and management style of the organization
Organization: the structure, job roles and reporting lines of the organization
People: the skill levels, staff potential and management capability
Human resources systems: the people focused mechanisms which deliver the strategy - employee selection, communications, training, rewards, career development, etc.
Frequently in managing the people element of their business senior managers will only focus on one or two dimensions and neglect to deal with the others. Typically, companies reorganize their structures to free managers from bureaucracy and drive for more entrepreneurial flair but then fail to adjust their training or reward systems.

When the desired entrepreneurial behavior does not emerge managers frequently look confused at the apparent failure of the changes to deliver results. The fact is that seldom can you focus on only one area. What is required is a strategic perspective aimed at identifying the relationship between all four dimensions.

If you require an organization which really values quality and service you not only have to retrain staff, you must also review the organization, reward, appraisal and communications systems.

The pay and reward system is a classic problem in this area. Frequently organizations have payment systems which are designed around the volume of output produced. If you then seek to develop a company which emphasizes the product's quality you must change the pay systems. Otherwise you have a contradiction between what the chief executive is saying about quality and what your payment system is encouraging staff to do.

There are seven steps to developing a human resource strategy and the active involvement of senior line managers should be sought throughout the approach.


©2008 Accel-Team

Senin, 04 Agustus 2008

Ayuk.. Hitung Pajak Penghasilan kita.

Saat ini, di kantor kami sedang hangat-hangatnya membahas soal pengenaan pajak PPh Pasal 21 Karyawan ungkap teman saya bernama A Citra Hutabarat. seharusnya, setiap pegawai yg mendapat penghasilan memang harus dikenakan pajak. hal ini mengacu pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-15/PJ/2006 (Kecuali ada surat keterangan bebas pajak dari pemerintah bagi suatu organisasi atau badan usaha tertentu. Agar memudahkan perhitungan saya memakai kasus yang paling umum ditemui di perusahaan.

Penghitungan PPh Pasal 21 umumnya adalah sebagai berikut :

• Tentukan pendapatan neto sebulan dengan cara mengurangkan pendapatan kotor sebulan dengan biaya jabatan, iuran pensiun, serta potongan lainnya bila ada. Yang dimaksud pendapatan kotor (bruto) adalah gaji plus tunjangan-tunjangan lain sebulan tetapi tidak termasuk imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan. Besarnya biaya jabatan tiap bulan adalah 5% dari pendapatan kotor sebulan tetapi tidak boleh melebihi Rp 110.000 sebulan. Iuran pensiun di sini adalah iuran pensiun yang ditanggung oleh pegawai yang dipotong dari gajinya. itu pun bila ada.
• Hitung pendapatan neto setahun dengan cara pendapatan neto sebulan dikalikan 12 bulan.
• Hitung Penghasilan Kena Pajak dengan cara mengurangkan pendapatan neto setahun dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PTKP yang berlaku sekarang adalah Rp 13.200.000 setahun untuk karyawan yang berstatus lajang atau belum kawin. Kalau statusnya kawin diberikan tambahan PTKP sebesar Rp 1.200.000 setahun. Kalau memiliki anak atau tanggungan, diberikan tambahan PTKP masing-masing Rp 1.200.000 setahun maksimal untuk 3 orang.
• Hitung PPh Pasal 21 Terutang setahun dengan cara mengalikan tarif PPh dengan Penghasilan Kena Pajak. Besarnya tarif PPh di sini adalah tarif PPh Pasal 17 UU PPh untuk orang pribadi yang besarnya adalah 5% untuk lapisan PKP sampai dengan Rp 25.000.000, 10% untuk lapisan di atas Rp 25.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000, 15% untuk lapisan di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 100.000.000, 25% untuk lapisan di atas Rp 100.000.000 sampai dengan Rp 200.000.000, 35% untuk lapisan di atas Rp 200.000.000
Sekarang, mari kita perhatikan ilustrasi dari penerapan PER-15/PJ/2006.
Tuan Senopati Pamungkas bekerja pada perusahaan PT Kadang Ngajar Kadang Idak dengan memperoleh Gaji sebulan total Rp. 1.500.000,00. Tuan Senopati Pamungkas menikah tetapi sudah 5 tahun ini belum mempunyai anak (gak tokcer). Penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai berikut :
Gaji sebulan : Rp 1.500.000
Pengurangan :
Biaya Jabatan :5% x Rp 1.500.000 = Rp 75.000
Penghasilan neto sebulan : Rp 1.425.000
Penghasilan neto setahun adalah: 12 x Rp. 1.425.000 = Rp 17.100.000
PTKP setahun
untuk WP sendiri : Rp 13.200.000
tambahan WP kawin : Rp 1.200.000
Total Penghasilan Tidak Kena Pajak: Rp 14.400.000
maka … Penghasilan Kena Pajak dalam setahun : Rp 2.700.000
PPh Pasal 21 terutang: 5% x Rp. 2.700.000 = Rp. 135.000
PPh Pasal 21 sebulan : Rp 135.000 : 12 = Rp. 11.250
Contoh di atas merupakan salah satu contoh yang paling sederhana guna mengilustrasikan bagaimana menghitung PPh Pasal 21. Berbagai variasi bisa mengakibatkan perhitungan yang lebih rumit dan kompleks. Misalnya bagaimana kalau gaji dibayarkan harian atau mingguan, bagaimana perlakuan terhadap karyawati, bagaimana kalau ada uang rapel, bonus dan lain-lain. Bagiamana juga kalau masa perolehan penghasilannya tidak 12 bulan yang diakibatkan karena berhenti kerja, meninggal dunia atau pindah ke cabang lain. Untuk lebih jelasnya silahkan baca PER-15/PJ/2006 tanggal 23 Pebruari 2006. Software penghitungan PPh Pasal 21 juga dengan mudah bisa didapatkan di pasaran kalau kita tidak mau pusing-pusing dengan aturan.
Selamat menghitung PPh anda !

Kamis, 24 Juli 2008

3P - Positive Personality Profile

3P - Positive Personality Profile
Different Personalities for Different Jobs


Featuring the Positive Personality Profile :
· Reduce costly TURNOVER.
· MATCH people to the RIGHT JOBS.
· Reduce STRESS and CONFLICTS.
· Improve PRODUCTIVITY, MORALE and JOB SATISFACTION.

A. Overview
REDUCE EMPLOYEE TURNOVER. The 3P Positive Personality Profile is a personality test / assessment / evaluation. It is designed to help employers match people to the right jobs. It is not a psychology test, as it is positive in nature and does not "pull skeletons out of the closet". This makes it ideal for use in the human resource environment. Rather than discouraging use, this program's positive nature actually
makes people eager to see their own results.

Each job has its own specific "work personality"... the traits that will cause a person to naturally like or dislike the job. Would you want to put an energetic, outgoing, people-oriented person behind a bookkeeping desk eight hours a day? Matching people to the right job promotes
happier, contented and productive employees. If the personality of the employee does not match the work personality of the job... then that employee will likely be discontented, unfulfilled and stressed. Stress is a major cause of $turnover and $health expenses.

The concept of personality management is a simple one: would you place an outgoing, self-motivated person behind a bookkeeping desk eight hours a day? Obviously not. That person would quickly become demotivated, unhappy and eventually, would most likely quit or be fired. Turnover is very expensive, costing a minimum of $2,500 every time an employee is lost. This is calculated in unemployment insurance and fees, advertising for a replacement, interview process, lost production, re-training and more.

If you can eliminate even ONE TURNOVER per year, the 3P Positive Personality Profile will more than pay for itself. We are certain you will join the people who have found this program to be "amazingly accurate".

The 3P Positive Personality Profile designed to significantly reduce employee turnover by matching employees with jobs that match their basic personalities. If you can eliminate even ONE turnover this year, 3P will have paid for itself many times over!

3P helps you save money in several ways:
.* Significant reduction in employee turnover
.* Reduction in job-related stress and health problems -- $$$
.* Reduction in absence and tardiness
.* Improved productivity
.* Increased quality of production
.* Improved communications within the work environment
.* Reduced friction among employees and management
.* Improved management / employee interaction
.* Reduction in costly errors
.* Increased job satisfaction
.* Bottom-line savings in the interviewing, hiring and employee maintenance processes!

B. What's 3P (Positive Personality Profilling)

How does a personality profile differ from a personality test or psychology testing?

"A personality profile simply states what is there, preferably in positive terms,"
"Psychology testing or personality testing both have something in common-- they come across as testing. No one likes taking tests. But almost everyone is interested in learning more about themselves. Face it, for almost all people, we are our favorite subjects."

Speed and Accuracy of 3P

The Positive Personality Profile has two things going for it: it is very accurate, and very fast. It doesn't take an hour or more to perform a personality profile; it takes about five minutes. And in the 20 years it has been on the market, our clients have consistently rated it to have
an accuracy in the 98th percentile range or better. This is amazing in a field where a standard personality profile scores in the 50th to 70th range. The accuracy makes 3P a valuable tool in employee management. If even one employee turnover is saved per year, 3P has paid for itself more than five times over. How can a business lose with figures like that?"

Rabu, 23 Juli 2008

5S Elements--Sort, Shine, Set, Standardize & Sustain


5S is a method to reduce waste and optimise productivity through maintaining an orderly workplace and using visual cues to achieve more consistent operational results. Five S drives a cleaner environment and organises the workplace. It is one of the first Lean Manufacturing activities that companies implement on their Lean adoption. it can be much more than this if approached properly.
By implementing a 5s Training program you can rapidly have an impact on your production environment and facilities with a minimal expenditure. Most companies have reported 5% efficiency improvement in several month's, which is sustainable over time

When starting on your Lean Manufacturing campaign one of the first tools you will look to deploy is Five S. All our TOOLSETS are provided in electronic format allowing you to take control of your own programs.


The Five S pillars:

Sort (Seiri)

Set in Order (Seiton)

Shine (Seiso)

Standardize (Seiketsu)

and Sustain (Shitsuke)

Selasa, 15 Juli 2008

Outsourcing (Alih Daya)-2

III. Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.[10] Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.[11]

Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003.

Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).

Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:

penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);
perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);
hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)
hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.[12] Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:[13]

adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;
perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;
perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.[14] Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.[15]

IV. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing

Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :

“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”[16]

Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :

”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”

Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.

Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis.[17] Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :[18]

Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.
Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama, dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas berupa pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing (Alih Daya) pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.[19]

Outsourcing (Alih Daya) untuk meraih keunggulan kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.[20]

Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk tenaga-tenaga ahli[21], sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.

Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat.[22]

Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :

Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;
Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan;
Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;
Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing di Perusahaan.
V. Perjanjian dalam Outsourcing

Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) dapat berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

Sepakat, bagi para pihak;
Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
Suatu hal tertentu;
Sebab yang halal.
Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) juga tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal 1338 KUH Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam penyediaan jasa pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:

1. Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh ;

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :[23]
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada perusahaan penyedia pekerja/buruh.

2. perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan hatus memenuhi syarat sebagai berikut :[24]
a. adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
c. perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja. Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.

Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)[25].

Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.

Karyawan outsourcing walaupun secara organisasi berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitment, karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pengguna outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan karyawannya.

VI. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing (Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing

Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) diikat dengan menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing (Alih Daya) menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di perusahaan pengguna outsourcing.

Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum, karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara keduanya.

Hal yang mendasari mengapa karyawan outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi kerja adalah :[26]

Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja;
Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja;
Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource.
Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa pekerja (user) dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja (user).

Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing (Alih Daya) karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan outsourcing, sehingga seharusnya karyawan outsourcing (Alih Daya) menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.

Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin kerja harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna outsourcing. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna outsourcing harus jelas di awal, tentang ketentuan apa saja yang harus ditaati oleh karyawan outsourcing selama ditempatkan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang tercantum dalam peraturan perusahaan pengguna outsourcing sebaiknya tidak diasumsikan untuk dilaksanakan secara total oleh karyawan outsourcing.

Misalkan masalah benefit, tentunya ada perbedaan antara karyawan outsourcing dengan karyawan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang disepakati untuk ditaati, disosialisasikan kepada karyawan outsourcing oleh perusahaan outsourcing. Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan tuntutan dari karyawan outsourcing yang menuntut dijadikan karyawan tetap pada perusahaan pengguna jasa outsourcing, dikarenakan kurangnya informasi tentang hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan pengguna outsourcing.

Perbedaan pemahaman tesebut pernah terjadi pada PT Toyota Astra Motor, salah satu produsen mobil di Indonesia. Dimana karyawan outsourcing khusus pembuat jok mobil Toyota melakukan unjuk rasa serta mogok kerja untuk menuntut dijadikan karyawan PT Toyota Astra Motor. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai status hubungan hukum mereka dengan PT Toyota Astra Motor selaku perusahaan pengguna outsourcing.[27]

VII. Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing (Alih Daya)

Dalam pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) berbagai potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.

Dalam hal ini perusahaan outsource harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan outsource itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim pewakilannya untuk memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan performa kerja karyawan bisa terpantau dengan baik.

VIII. Kesimpulan

Outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.

Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan pengguna jasa outsourcing wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan outsourcing, dimana hal itu harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. Mekanisme Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan secara internal antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana perusahaan outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya untuk membahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam pelaksanaan outsourcing.

Dewasa ini outsourcing sudah menjadi trend dan kebutuhan dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai. Sedapat mungkin segala kekurangan pengaturan outsourcing dapat termuat dalam revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan dan peraturan pelaksanaanya, sehingga dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja.

***

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Chandra K. yang telah memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berharga melalui artikel yang telah ditulisnya di atas.

Catatan Kaki:

[1] Wirawan, Rubrik Hukum Teropong,Apa yang dimaksud dengan sistem outsourcing?, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm

[2] ibid

[3] Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id, diakses tanggal 4 Agustus 2006

[4] Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan,

[5] Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi memuat hal-hal yang dituntut untuk dilakukan revisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu : Pemutusan Hubungan Kerjam Perjanjian kerja Waktu Tertentu, Perhitungan Pesangon, Ijin tenaga Kerja Asing dan istirahat panjang.

[6] Nur Cahyo, Pengalihan Pekerjaan Penunjang perusahaan dengan Sistem Outsourcing (Alih Daya) Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus pada Asuransi Astra Buana), Tesis Magister Hukum FHUI, Depok, 2006, hal.56.

[7] Terkutip dalam Nur Cahyo, ibid., hal 57.

[8] Chandra Suwondo, Outsourcing; Implementasi di Indonesia, Elex Media Computindo, Jakarta, hal 2.

[9] Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial, http://www.nakertrans.go.id/arsip berita/naker/outsourcing.php. 29 Mei 2005.

[10] Tulisan ini mengkhususkan membahas outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan jasa pekerja/buruh, sedang outsourcing (Alih Daya) berupa pemborongan pekerjaan hanya akan diulas sekilas dari segi definisi, dan dalam kaitan dengan core business. Dalam UU No.13 Tahun 2003, istilah outsourcing (Alih Daya) dapat diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan tenaga kerja, namun pada rancangan UU Tenaga Kerja yang baru (yang kini sedang dikaji ulang), pengertian outsourcing (Alih Daya) tampaknya akan disempitkan menjadi penyediaan jasa pekerja, sementara pemborongan pekerjaan ldiartikan sebagai sub-kontrak.

[11] Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses dari Sabar Sianturi, pembicara pada Seminar tentang Outsourcing (Alih Daya) dan Permasalahannya, 12 April 2006, Hotel Aryaduta, diselenggarakan oleh PPM.

[12] Pasal 66 ayat (1) UU No.13 tahun 2003

[13] Pasal 66 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003

[14] Pasal 66 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003

[15] Pasal 66 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003

[16] R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-14 oktober 2005, hal.5.

[17] Ibid., hal.6.

[18] Ibid., hal 7.

[19] Ibid., hal.8

[20] Ibid., hal.5

[21] Berdasarkan informasi dari Bapak Ali Nursal, General Manager PT.Outsourcing (Alih Daya) Indonesia

[22] Pelaporan dokumen tentang pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang diatur pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : 220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

[23] Pasal 65 ayat (2) UU No.13 tahun 2003

[24] Pasal 66 ayat 2) butir a,b dan c UU No.13 tahun 2003

[25] Mengenai PKWT dan PKWTT lihat pasal 56-60 UU No.13 Tahun 2003

[27] Berdasarkan informasi dari Bpk. Yayan Hernayanto, Corporate Legal, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, 4 Agustus 2006.

Senin, 14 Juli 2008

OUTSOURCING (ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN

OUTSOURCING (ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN
TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN:
(Tinjauan Yuridis terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) *

I. Pendahuluan

Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.

Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).[1] Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.[2]

Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.[3]

Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja[4] pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap.


Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.[5]

Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.

Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan outsourcing (Alih Daya) di Indonesia sebagai berikut:

Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) ?
Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) den perusahaan pengguna jasa outsourcing ?
Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja?
II. Definisi Outsourcing

Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:[6]

“ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)

Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :[7]

“Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”

Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama

Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).[8] Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.[9]

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.

Bersambung....

Jumat, 11 Juli 2008

Getting the Right People - People Who Fit

Getting the Right People - People Who Fit
By: Paul Phillips

Jim Collins in his book Good to Great talks about "getting the right people on the bus" before deciding where to drive it. A key factor in getting the right people is understanding what competencies we are looking for and how to find out if someone has these. Identifying knowledge and skills is relatively easy - those above water in our Iceberg model, (Milkovich and Newman), but those underwater -self concepts, traits and motives were more difficult. However, there is a technique to help us.Firstly we need to define what competencies we are looking for.
What did past successful people have, what did the failures lack, what is required to take us forward. Once these have been defined in terms of specific behaviours required, we need to see if a potential employee has had an opportunity to demonstrate these and then to find out if they possess them.An example may be the competency of "Initiative". Has the candidate been in a job where they could have displayed this competency? Most people have. We can then ask the question "tell me about the last time you came across a problem with the way the xyz process worked in your current job. You can then probe to find out what they did about it. Use several examples and really get down to the detail to the extent that you are fairly sure they did consistently what they are telling you. If this is the case there is a good chance they will repeat this behaviour in the future. Take out more insurance though.
While they are telling you what happened, ask about the other people involved and take down their names. Then ask if you can call these people. During your reference checking, verify what they are telling you is factual and not what they think they should have done or would have liked to have done.If you carefully define what you think are the competencies of the people who will fit, plan the questions you are going to ask and be tenacious in making sure their past behaviour demonstrates these competencies, you will have increased your chance of finding the right person. The business benefitsBy having key corporate competencies, detailed in terms of behaviours, and rigorously using these to recruit, develop and manage performance will build the culture you want and will save the expense of hiring, or keeping, people who don't fit.

Paul Phillips is a Director of Horizon Management Group; a specialist human resource management consulting firm. He has over 30 years experience in HR and, while based in Australia, has worked in a number of overseas locations

Kamis, 10 Juli 2008

Status Karyawan Setelah Perusahaan Dijual ke Pihak Lain

Pertanyaan
Status Karyawan Setelah Perusahaan Dijual ke Pihak Lain
1. Perusahaan tempat saya bekerja saat ini sahamnya telah dijual 100% ke pihak lain. Tapi, dari informasi yang saya dapat, karyawan tidak akan diberi pesangon karena ada kesepakatan dengan pemilik baru bahwa masa kerja dianggap dilanjutkan di perusahaan yang baru (tidak ada PHK). Apakah memang ada aturan seperti itu?

2. Hitungan masa kerja itu dimulai sejak awal kontrak atau sejak jadi karyawan tetap?


Jawaban
1. Hubungan kerja antara pekerja dengan suatu perusahaan, ketika perusahaan tersebut dibeli (akuisisi) atau merger oleh/dengan perusahaan lain dapat:
-- diputuskan, dengan pekerja memperoleh hak-haknya sesuai UU, dan masa kerja di perusahaan baru mulai dari "nol"; atau:
-- nyambung terus di perusahaan baru, tanpa harus PHK dengan pemilik lama.

2. Masa kerja dihitung sejak awal kontrak, pada saat pekerja menandatangani perjanjian kerja, bukan saat ia diangkat/ditetapkan menjadi pekerja tetap.

Rabu, 09 Juli 2008

10 JURUS AMPUH MENJADI PEMIMPIN-2

Sambungan...

4. Belajar membangun kompetensi. Orang yang memiliki kompetensi yang tinggi, akan melangkah lebih jauh. Untuk menjadi seorang pemimpin, Anda harus memiliki jurus ini: Kompetensi. Jika Anda membangun, Anda akan mendapatkannya. Untuk memilikinya, Anda harus terus belajar, terus tumbuh, dan terus memperbaiki diri. Willa A. Fester mencerahkan kita dengan pesannya, "Kualitas tidaklah pernah merupakan suatu kebetulan. Kualitas merupakan hasil dari tekad yang bulat, upaya yang tulus, dan kerja keras."
5. Belajar berkomunikasi. Anda tidak mungkin mengungkapkan kebutuhan perusahaan, jika Anda tidak bisa mengomunikasikannya. Anda tidak mungkin menyuruh, jika Anda susah menyuarakannya. Anda tidak mungkin meminta, jika Anda tidak sanggup menyuarakannya. Demikianlah, Anda butuh komunikasi. Karena, Anda tidak bisa menjalankan perusahaan yang Anda pimpin, menggerakkan orang-orang yang Anda pimpin, jika Anda tidak terampil berkomunikasi.

6. Belajar membangun integritas. Saya yakin, Anda memiliki integritas diri sebagai karakter, kepribadian, dan gaya hidup Anda. Kejujuran, keteguhan hati, ketulusan, dan keramah-tamahan adalah integritas Anda. Karenanya, Anda pantas menjadi pemimpin. Anda layak menjadi panutan. Karena pemimpin yang baik adalah sekaligus bisa menjadi teladan.

7. Belajar membangun hubungan yang harmoni. Menjadi pemimpin tidak berarti menguasai. Malah, bisa jadi, berarti melayani. Menjadi pemimpin tidak selalu memaki-maki. Malah, kalau perlu, memberikan motivasi dan menyuntikkan semangat. Meminjam istilah Mawell, "Orang tidak peduli seberapa banyak yang Anda ketahui, hingga mereka tahu seberapa jauh Anda peduli." Atau, mungkin Anda perlu menyimak fatwa Ma'ruf Mushthofa Zurayq, "Kita sering dipisahkan oleh batasan, karena kita lebih rajin membangun dinding, bukan jembatan."

8. Belajar mendengarkan. Suatu ketika, Wodrow Wilson, mantan Presiden Amerika Serikat, menyatakan bahwa, "Telinga seorang pemimpin harus mampu menangkap suara orang banyak." Jika Anda berniat menjadi pemimpin yang baik, maka jadilah pendengar yang baik. Buka telinga Anda. Simak baik-baik. Jika Anda mendengarkan bisikan-bisikan karyawan Anda, maka Anda tidak akan mendengarkan teriakan-teriakan mereka.

9. Belajar bertanggung jawab. John C. Maxwell, pada satu kesempatan menuturkan, "Seorang pemimpin dapat melupakan apa pun, kecuali tanggung jawab akhir." Ya, seorang pemimpin adalah penanggung jawab. Ketika anak buahnya melakukan kesalahan, bahkan yang berakibat fatal, ia tidak akan menumpahkan semua kesalahan kepada karyawannya itu. Alih-alih mencari kambing hitam, pemimpin yang baik malah sibuk introspeksi: Mengapa karyawan saya melakukan banyak kesalahan? Pemimpin yang bijak adalah biasa merangkul. Bukan menyudutkan!

10. Belajar menyelesaikan masalah. Masalah bukan untuk dihindari, melainkan untuk diselesaikan. Ukuran sukses Anda ditentukan oleh seberapa hebat Anda menuntaskan persoalan yang menimpa. Takaran kehebatan Anda memimpin ditentukan oleh seberapa dahsyat Anda menyelesaikan masalah yang Anda hadapi.

Nah, jika Anda telah menguasai jurus-jurus di atas, tunggu apalagi? Saatnya Anda beraksi. Anda bisa. Do it now....!

Selasa, 08 Juli 2008

10 JURUS AMPUH MENJADI PEMIMPIN-1

10 JURUS AMPUH MENJADI PEMIMPIN

“Orang pertama yang Anda pimpin adalah diri sendiri.”
~ Hasan Al-Banna

Hanya ada dua pilihan dalam hidup ini: memimpin atau dipimpin. Menjadi bawahan atau atasan. Jika Anda memilih untuk jadi pemimpin, berarti Anda ingin diikuti. Sebaliknya, ketika Anda secara sadar memilih menjadi bawahan, maka Anda secara otomatis akan menjadi pengikut. Jadi, bagaimana? Tentukan pilihan Anda sekarang juga. Karena, jika Anda enggan jadi pemimpin, orang lain yang akan maju. Jika Anda enggan ke depan, orang lain yang akan memimpin. Karena itu, segeralah jadi kepala. Jika tidak, Anda akan menjadi ekor seumur hidup.

Masalahnya,"Menjadi pemimpin itu tidak mudah," pikir sebagian orang. Atau, "Memimpin diri sendiri saja susah, apalagi memimpin orang lain?" keluh sebagian orang lainnya. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda juga berpikir demikian? Jika tidak, selamat! Anda layak untuk maju. Jika jawaban Anda ya, sebaiknya Anda bergegas untuk membenahi diri. Pilihan menjadi bawahan seumur hidup, bukanlah alternatif terbaik bagi Anda. Lantas, bagaimana menjadi pemimpin yang baik? Ayo, mari kita saling berbagi. Anda boleh mencoba 10 jurus ampuh menjadi pemimpin. Boleh jadi, Anda tidak cocok dengan jurus-jurus yang saya tawarkan. Coba saja! Toh, jika Anda gagal, setidaknya Anda sudah mencoba. Teddy Rosevelt pernah menyatakan, "Ia yang tidak membuat kekeliruan, tidak akan membuat kemajuan."

So, coba saja! Jangan takut salah. Jangan takut jadi pemimpin. Tidak perlu sibuk bertanya kiri-kanan, "Apakah saya punya bakat jadi pemimpin?" Ingat, tidak ada satu pun orang yang terlahir sebagai pemimpin. Nah, ini dia 10 jurus ampuh menjadi pemimpin.

1. Berani Belajar. Menjadi seorang pemimpin, berarti memilih secara sadar untuk terus belajar. John Wooden, seorang pelatih basket ternama, berpesan kepada kita, "Yang penting adalah apa yang Anda pelajari setelah mengetahui semuanya." Bagaimana jika seseorang telah meraih posisi puncak di perusahaannya, masihkah harus tetap belajar? Jawabannya singkat: ya. Boleh jadi, Anda masih perlu belajar tentang bagaimana meningkatkan pendapatan Anda, atau tentang bagaimana memimpin bawahan yang gemar menantang atasan. Jadi, meskipun Anda telah mencapai posisi yang diinginkan, sekalipun Anda telah mendapatkan kedudukan yang didambakan, Anda harus tetap belajar. Termasuk belajar dari bawahan Anda, atau belajar dari orang-orang yang Anda pimpin.

2. Belajar berinisiatif. Tanpa inisiatif, Anda tak akan berkembang. Tak akan ke mana-mana. Tak akan mencapai puncak. Boleh jadi Anda sudah mapan, sudah nyaman pada posisi yang Anda duduki saat ini. Tapi, jika Anda terus-terusan berpuas diri, Anda bisa digusur orang lain. Jadi, teruslah mengasah inisiatif Anda.

3. Belajar disiplin. Telisik diri Anda. Apakah Anda selalu datang ke kantor tepat waktu? Apakah Anda termasuk tipe orang yang menghargai waktu? Apakah Anda sering menepati janji? Ya, disiplin adalah kunci sukses menjadi pemimpin. Ingat, orang pertama yang Anda pimpin adalah diri sendiri. Jika Anda gagal memimpinnya, bagaimana mungkin Anda memimpin orang lain?

Rabu, 25 Juni 2008

Human Resource Management Adviser

Sub National Strategy - Human Resource Management Adviser
Coffey International Development
Location: Buka, Bougainville
Last Date: July 7, 2008

Sub National Strategy - Human Resource Management Adviser (ref: COFF-056)

• Support the ABG in developing effective and sustainable human resource management capacity

24 month contracts with possible extension
Based in Buka, Bougainville

The Sub National Strategy (SNS) is a partnership between the Government of Australia and Government of Papua New Guinea (PNG) for improved service delivery for the men, women and children of Papua New Guinea. This new AusAID funded program is Australia’s mechanism to support initiatives of the Government of PNG that aim to improve public administration within the sub-national levels of government.

As part of the SNS, AusAID has provided funding to the Autonomous Bougainville Government (ABG) through the Governance Implementation Fund (GIF). This fund is a multi-donor mechanism to help in implementing autonomy, improving good governance and implementing public sector reform in Bougainville. Additionally, AusAID are providing technical advisory support to ABG to support the development of capacity to create and maintain an effective government.

A Human Resource Management Adviser is being sought to work with the ABG to support:
•Implementation of the peace agreement
•Local budget and planning systems with the aim of improving public expenditure management and thus enhancing development outcomes
•Promote good governance and accountability
•Improve coordination of donor assistance

This key role will be responsible for providing advice and support to the ABG, strengthening and developing local capacity.

To be considered for this role, applicants will need to demonstrate a high level of technical competency and experience. All applicants will need to have experience in developing the skills and building the capacity of others.

Detailed background information plus ESSENTIAL application procedures for these positions are available on our website at www.careers.coffey.com or from Dianne Hosea on email: dianne_hosea@coffey.com quoting the relevant reference number. Applicants are encouraged to submit an on-line application through the above website.

Applications close 5.00pm (ACT) Monday 7 July 2008

Kamis, 19 Juni 2008

Menggapai Keunggulan Lewat Budaya Layanan

Menggapai Keunggulan Lewat Budaya Layanan

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, selama ini kita cukup bangga dengan predikat yang disematkan para wisatawan asing sebagai bangsa yang terkenal dengan keramah tamahannya.

Predikat sebagai bangsa yang memiliki budaya yang ramah tamah ternyata juga dilontarkan oleh Ron Kaufmann, seorang penulis buku best seller : “Up Your Service” dan “Lift Me Up” yang beberapa waktu lalu menjadi pembicara pada suatu seminar di Jakarta. Pria yang juga dikenal sebagai fasilitator dan pembicara berskala intrenasional ini menyebut bahwa orang-orang Indonesia adalah salah satu yang paling ramah dan hangat di dunia.

Dengan bimbingan, kerjasama, dan dukungan yang benar, Ron meyakini bahwa Indonesia dapat meraih kehebatan dalam budaya layanan. “Budaya layanan di Indonesia telah memiliki suatu keunggulan dari keramah tamahan orang-orangnya”, ucapnya saat seminar tersebut.

Ya, kehangatan, keramah tamahan serta sikap tepo seliro yang merupakan cirri budaya sebagai orang Timur seharusnya dapat menjadi modal untuk menunjang kualitas pelayanan dari setiap perusahaan yang berkecimpung di berbagai jenis industri. Bila Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pada suatu kesempatan pernah berharap agar service industry kita bisa mencapai level pelayanan yang world class quality dengan meningkatkan competitiveness, maka keramah tamahan yang merupakan kultur masyarakat kita bisa jadi merupakan factor untuk mewujudkan kualitas yang prima tersebut. “Competitiveness is going to be majored by how fast and best you can give the service”, ucapnya saat berbicara di International Quality Award 2007, bulan lalu.

Karena untuk mencapai the best quality in services tidak melulu hanya berbicara mengenai profesionalitas, kecepatan dan ketepatan dalam pelayanan saja. Sikap ramah tamah dalam pelayanan tentunya juga tidak bisa dikesampingkan. Hal inilah yang menurut Ron Kauffmann menjadi nilai lebih dari budaya pelayanan di Indonesia.
Budaya pelayanan seharusnya menjadi sesuatu yang dikedepankan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di semua jenis industri. Karena biasanya bila orang berbicara mengenai budaya pelayanan sering muncul anggapan bahwa hal tersebut hanya dibutuhkan di jenis pekerjaan dan bidang industri tertentu saja.

Sebut saja misalnya industri pariwisata, retail, airlines, dan industri lain yang menawarkan jasa. Sehingga hanya orang-orang yang bekerja di bidang tersebut atau orang yang berprofesi menawarkan jasa seperti sales, customer service, konsultan, yang harus memahami pentingnya budaya pelayanan dan menerapkannya sehari-hari.

“Secara umum, dalam perspektif kami, memiliki budaya pelayanan yang kuat sangat penting penting selama anda bekerja dengan sesama manusia”, ujar Joanne Esta Chong, Director of Marketing Up Your Service College, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pelatihan berbasis di Singapura.

“Ketika kita sebagai manusia berinteraksi, sebenarnya kita bertukar melayani. Saat kamu bertanya pada saya dan saya menjawab, saya berusaha melayani anda. Jika saya salah menjawab pertanyaan anda atau menjawabnya dengan buruk, itu kan tidak membantu anda”, ujarnya berfilosofi. Selanjutnya ia mengatakan bahwa keberadaan service culture di sebuah perusahaan sangat penting karena dapat membawa dampak positif. Karena jika kita dapat melayani orang lain di internal maupun eksternal perusahaan dengan baik, maka otomatis orang-orang yang berhubungan dengan pihak perusahaan itu akan merasa senang untuk bekerjasama.

“Jika itu terjadi, secara keseluruhan perusahaan akan memperoleh keuntungan. Perusahaan akan punya reputasi bagus karena selalu membantu orang untuk menyelesaikan masalah mereka. Selalu memberikan pertolongan, memberikan dorongan dan dukungan. Jadi saat perusahaan memiliki reputasi yang baik maka bisnis akan meningkat”, terangnya lagi.

Yang menarik adalah bagaimana kita membangun sebuah service culture di perusahaan kita. Karena tentunya tidak mudah untuk menanamkan service culture terutama di perusahaan yang bergerak di bidang non jasa ataupun kepada orang-orang yang bekerja di bidang non jasa. Hal itu juga diakui oleh wanita berdarah Singapura ini kepada HC. Ia menyebut salah satu cara yang efektif untuk membangun service culture adalah melalui training.

“Ada banyak cara untuk mengembangkan kultur. Seperti yang anda katakan bahwa sangat sulit untuk mengubah mindset. Kultur dapat dibentuk melalui cara-cara yang berbeda, salah satunya melalui training”, kata Joanne. Ia mengimbuhkan bahwa men-develop people dengan pola educational dan training dapat membantu meningkatkan service delivery sebaik mengubah mind set mereka.

Dalam membangun service culture di perusahaan, di dalam bukunya, Ron Kauffmann menyebut tiga hal yang menjadi kunci dalam pengembangan karyawan. Yang pertama adalah core service skills. Core service skill ini berkaitan dengan beberapa hal seperti understanding customers, improving existing service, creating positive impressions, generating value for customers, working with service partners inside and outside the company, resolving service problems dan learning from service evaluation results.

Yang kedua adalah complementary service skills. Yang termasuk di dalamnya adalah emphatetic listening, interpersonal communication, teamwork, project management leadership, supervision, cultural awareness, motivation dan emotional intelligence.

Sedangkan yang ketiga yaitu industry-specific service skills, yang diantaranya adalah product knowledge and process expertise, proficiency in your tools, technologies dan procedures.

Namun yang tak kalah pentingnya adalah tahap penerapan dari pelatihan yang telah dilakukan tersebut. Anda harus memastikan bahwa proses pembelajaran tidak hanya berhenti saat kegiatan training selesai dilakukan. Hal inilah yang menjadi tantangan utama menurut Joanne Esta Chong, “Jadi tantangan terbesar adalah agar orang-orang mengerti semuanya. Setiap individu memegang peranannya. Dan tidak hanya bisa mengerti konsep tapi juga menerapkannya. Jadi itu tantangan terbesarnya.”

Rabu, 18 Juni 2008

Atasi Stress Ketika menjalani Psikotes

Rahasia mengatasi stress saat menjalani psikotes / tes psikometri

Bagi Anda yang pernah menjalani psikotes mungkin pernah merasakan sakit perut, tangan tiba-tiba keringatan, detak jantung yang berlebihan, atau suasana hati yang tertekan saat bersiap menjalani psikotes. Anda tidak sendirian, sebagian besar orang mengalaminya. Bagaimana mengatasinya, inilah rahasia mengatasi stress dari consultanthr :

1. Ingat untuk sarapan atau makan sebelum tes dimulai. Ini penting agar tubuh Anda tidak menderita dan Anda bisa kosentrasi menjawab soal tanpa gangguan kelaparan.
2. Bersikap setenang mungkin. Ingatlah kegelisahan pada tingkat tertentu adalah wajar
3. Hindari memperlihatkan kegelisahan Anda. Anda harus tampak percaya diri karena perilaku Anda secara umum berada dalam pengamatan seperti halnya hasil tes Anda
4. Jika tiba-tiba menghadapi masalah, yang pertama dilakukan adalah JANGAN PANIK. Jika panik, maka tubuh Anda akan bereaksi negatif sehingga Anda tidak bisa berpikir dengan tenang. Mintalah bantuan pengawas jika Anda menghadapi masalah, pengawas pasti akan membantu Anda.
5. Nyamankan diri Anda. Pelajari teknik-teknik relaksasi atau visualisasi yang sesuai dengan diri Anda untuk meredakan ketegangan (Anda dapat pelajari dari buku-buku relaksasi/visualisasi yang ada di toko buku)
6. Buat posisi dimana Anda berada menjadi senyaman mungkin. Misal jika meja atau kursi Anda bergoyang, cari kertas untuk mengganjalnya.
7. Bekerjalah seefisien mungkin. kerjakan cepat namun tidak terburu-buru
8. Hindari membuang-buang waktu dengan mencari soal “jebakan” karena Anda tidak bisa menemukannya dengan mudah
9. Ingatlah makin banyak soal yang Anda kerjakan, makin besar kemungkinan Anda mendapatkan nilai tinggi
10. Sesekali pandanglah sekeliling Anda, ambil napas dalam-dalam, pejamkan mata, dan luruskan kaki. Ini akan membantu meredakan ketegangan yang timbul dalam diri Anda
11. Jangan putus asa jika pertanyaan terasa sulit. Pertanyaan itu mungkin sama sulitnya bagi orang lain
12. Jangan cemas jika pesaing Anda tampak bekerja lebih cepat ketimbang Anda. Tidak ada jaminan bahwa jawaban mereka benar
13. Jika Anda merasa tidak enak badan, katakan pada pengawas. Tidak ada untungnya diam dalam penderitaan
14. Jangan terlalu memaksa diri. Percayalah Anda telah melakukan hal yang terbaik.
15. Selalu berpikir positif. Pikiran positif membuat tubuh Anda bereaksi positif, timbal baliknya adalah Anda menjadi nyaman dengan situasi atau kondisi yang ada.
Selamat menjalani tes psikometri. Sukses untuk Anda.

Selasa, 17 Juni 2008

Dipaksa Buat Surat Pernyataan

Pertanyaan
Dipaksa Membuat Surat Pernyataan, Bisakah Menuntut?
Adik saya bekerja di perusahaan Korea di Cikarang melalui sebuah yayasan, dan dikontrak selama 1 tahun. Dalam bekerja, pimpinan di departemennya selalu mendiskriminasi karyawan kontrak. Pernah, adik saya dilempar CD --yang salah sebenarnya orang lain tapi sasarannya adik saya. Apakah tindakan pemimpin tersebut dapat dibenarkan? Sebagai karyawan kontrak dari sebuah yayasan, dapatkah adik saya menuntut dia? Pemimpin tersebut juga pernah menyuruh dengan paksa agar adik saya membuat surat pernyataan di atas materai yang isinya, bila dalam waktu "yang telah ditentukan" adik saya belum dapat menguasai semua pekerjaan, maka harus mengundurkan diri walaupun masa kontrak belum habis. Apakah tindakannya ini dapat dibenarkan? Kuatkah posisi adik saya apabila dia menuntut?


Jawaban
Jelas tindakan pemimpin itu tidak benar. Pekerja melakukan kesalahan apa pun (bila pekerja memang salah), tidak dengan fisik cara penyelesaiannya. Melempar CD termasuk perbuatan pidana Pasal 335 ayat (1) KUHP yaitu perbuatan tidak menyenangkan, melakukan kekerasan dll. Mengenai hal ini, silakan lapor ke polisi. Bila ada saksi yang melihat akan lebih kuat lagi posisi adik Anda, atau luka memar sebagai akibat lemparan itu. CD yang dilempar juga dapat dijadikan alat bukti oleh polisi. Dengan pengaduan itu, si pelempar dapat dipanggil oleh polisi untuk dilakukan pemeriksaan. Laporan diajukan ke pos polisi terdekat dengan lokasi pabrik. Bila unsur-unsur perbuatan pidana terpenuhi, kasusnya bisa sampai ke kejaksaan, dan seterusnya ke pengadilan. Secara teknis, Anda bisa minta tolong LBH (Lembaga Bantuan Hukum) untuk membantu proses perkara bila sampai ke pengadilan.

Tindakan memaksa menyuruh membuat surat pernyataan juga dapat dimasukkan dalam perbuatan tidak menyenangkan. Perlu dipahami dulu tentang bidang perdata dan pidana. Dalam bidang perdata, istilahnya adalah menggugat. Orang menggugat karena merasa haknya dilanggar orang lain. Untuk itu pihak yang merasa haknya dilanggar orang lain, dapat menggugat ke pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi sebagai akibat orang lain melakukan perbuatan melawan hukum. Kasus adik Anda lebih mengarah ke perbuatan pidana, jadi yang dilakukan (kalau mau) adalah langkah tersebut di atas. Tapi, paling aman, kalau tidak mau ribut-ribut, sudah saatnya adik Anda mempertimbangkan keluar dari perusahaan. Memang, demikian nasib pekerja, dalam posisi yang lemah.

Kamis, 12 Juni 2008

LOMPATAN PAUS...!


Pernahkan Anda bertanya-tanya bagaimana pelatih ikan paus dan lumba-lumba di Sea World bisa membuat Shamu paus seberat sembilan ton itu, melompat setinggi 7 meter keluar dari air dan memperagakan berbagai permainan ?

Mereka membuat si paus melompati lingkaran tali begitu tinggi dari permukaan air,jarak yang tak terbayangkan oleh kita. Ini benar-benar tantangan besar, sebesar tantangan yang Anda dan saya hadapi sebagai orang tua, pelatih, atau manajer.
Dapatkah Anda membayangkan cara khas yang akan dilakukan para manajer bila mereka harus menangani situasi seperti itu ?

Hal pertama yang mungkin akan kita lakukan adalah meletakkan tali itu langsung setinggi 7 meter, tidak ada gunanya meletakkannya lebih rendah, atau tak ada gunanya membanggakan kebodohan.

Kita menyebutnya penentuan sasaran, atau perencanaan strategi.
Jika sasarannya telah ditentukan dengan jelas, yang harus dilakukan sekarang adalah memikirkan cara untuk memotivasi si ikan paus.
Maka kita ambil seember ikan dan meletakannya tepat 7 meter di atas lingkaran tali itu.
Jangan berikan imbalannya bila si paus tidak mau beraksi. Lalu, kita harus memberikan pengarahan.

Kita membungkuk dari bangku kita yang bagus, yang terletak di tempat tinggi itu, dan berseru,
"Hai, paus! Melompatlah!"
Dan . . . . . . . . .si paus tetap di sana, tak bergerak sedikit pun.
Jadi, bagaimana para pelatih di Sea World itu melakukannya?
Prioritas mereka yang pertama adalah mempertegas perilaku yang mereka inginkan agar si paus melakukan ( berlatih ) berulang-ulang, dalam hal ini, membuat si paus atau lumba - lumba melompati lingkaran tali.

Dengan segala macam cara, mereka menciptakan lingkungan yang mendukung kaidah yang menjamin bahwa si paus tak mungkin gagal. Mereka memulainya dengan meletakkan lingkaran tali itu di bawah permukaan air,dalam posisi yang membuat si paus mau tak mau terpaksa melakukan apa yang diharapkan si pelatih.
Setiap kali si paus berhasil melewati lingkaran tali, dia mendapatkan ketegasan yang positifDia diberi hadiah ikan merah, dibelai-belai, diajak bermain-main, dan yang terpenting, mendapat penegasan.

Tetapi, bagaimana kalau si paus melompat di bawah lingkaran tali?
Tidak apa-apa, dia tidak akan dihukum dengan sengatan listrik, tidak ada kritik membangun, tidak ada omelan, dan tidak ada kata-kata peringatan dalam berkas pribadinya.

Paus hanya diajari bahwa perilaku yang negatif tidak akan diakui.
Penegasan positif adalah landasan dari kaidah sederhana itu, yang membuahkan hasil yang menakjubkan.

Dan ketika si paus berhasil lebih sering melompati lingkaran tali dari pada melompat di bawahnya, si pelatih meninggikan talinya. Kenaikan itu harus berangsur-angsur dan lambat sehingga si paus tidak kelaparan, baik secara fisik maupun secara emosi.

Pelajaran sederhana yang harus dipelajari dari para pelatih paus itu adalah merayakan keberhasilan secara wajar. (Celebrating Succes)

Saat masih di Astra International pada divisi Customer Care , team saya selalu memotivasi Cabang perusahaan yang nilai index kepuasaan pelanggannya tinggi dengan reward kepada " seluruh karyawan cabang ".Bahkan tidak tanggung - tanggung , sang Kepala Cabang pun diundang langsung ke kantor pusat untuk menerima langsung reward dari para petinggi dengan disaksikan seluruh karyawan pada kesempatan upacara bendera.

Tunjukkanlah keberhasilan dan hal-hal kecil yang kita inginkan terus diperlihatkan kepada si paus.( baca : karyawan )
Yang kedua, jangan terlalu mudah mengecam. Orang juga bisa merasakan kalau prestasi mereka mengecewakan. Yang mereka perlukan adalah uluran tangan menawarkan bantuan.

Tanpa kecaman atau hukuman sekalipun, orang tak akan melupakan kegagalannya dan biasanya tidak akan mengulanginya lagi.
Menurut pendapat saya, kebanyakan bisnis yang sukses dewasa ini melakukan hal yang benar lebih dari 95%.

Namun, berapa banyak waktu yang kita sisihkan untuk mengomel ?
Kita harus menciptakan suasana yang membuat orang tidak mengalami kegagalan.
Rayakanlah keberhasilan secara wajar , jangan mudah mengecam ... dan kita harus tahu seberapa tinggi kita harus meletakkan lingkaran tali itu.

R'