Tampilkan postingan dengan label Sustaining High-Performing Employees. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sustaining High-Performing Employees. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 Oktober 2008

Managing Your Bad Boss

Managing Your Bad Boss
The relationship is a two-way one, but that doesn't mean the balance of power is equal. Keep your boss's priorities uppermost and yours secondary

by David Silverman

So, your boss is a dud. A bully. A person you'd do anything to avoid. Maybe he or she embodies all of the habits I wrote about in the first post in this series. What now?

First, here's my short list of how we may make the workplace bearable when our bosses aren't.*

• Commiserate. The worst bosses make for the best co-worker relationships. You can end every office squabble by saying, "Hey, I'm keeping the boss off your back!"

• Sabotage. Does your boss have a personal refrigerator not allowed by company policy? Did you really get a package for him or did it "accidentally" get reshipped to the Tunisia office?

• Question everything. You don't want to make any mistakes, so check every detail. "By 'blue,' do you mean aqua or more teal? Can you give me the RGB values of the 'blue' you're looking for? To be safe, I'll hold off on the presentation till you decide."

• Travel. Travel. Travel. Where in the world does your Blackberry not work? In your case, anywhere more exotic than 10 feet from your desk.

• YouTube. Lots and lots of YouTube.

*While I would certainly never advocate behaving unethically (and therefore most of this) it strikes me as more true than not that people working for a bad boss use these tactics, albeit often unconsciously—and that's not a reasonable way for you or your boss to survive the workday.

But in my experience, really outlasting a bully requires a thickening of your own skin and, as unpleasant as it sounds, a change of attitude to helping, rather than hindering, your bad boss.

In a good employer-employee relationship, the relationship is a two-way street. The boss seeks to know what you want and explains clearly his, and the company's, goals. The bully boss, however, does not care about you and will not (or cannot figure out how to) be open and honest. This makes your attempt to please the boss harder—but not impossible.

Chances are good (based on my experience with many bosses and employees) that you and your bully boss are at cross purposes. Maybe she has pet projects that you find frivolous and distracting. Or perhaps you want to get promoted and your boss wants you to keep a low profile so the spotlight remains on him. If that's true, the boss will view you and all your actions—aimed to show the world how good you are—as threats to his stability.

With these issues and others in mind, here's my revised list for really managing your bad boss:

• Understand what your boss' goals are (i.e. "get ahead" or "stay put") and how your objectives differ. How might your boss perceive you as a threat? Use that knowledge to keep from stepping on toes.

• Show your boss how you will support him or her. Focus on helping with the tasks your boss is weakest at, while being careful not to criticize.

• Head off confrontations. Just because your boss sent you 20 emails on your vacation doesn't mean you need to respond while water skiing. Take a breath and when you write back, keep it professional.

• Document your job requirements. Listing all the projects and tasks expected of you will help minimize the amount of "and one more thing" e-mails. And if you boss continues to come up with stuff to do, you at least have the documentation to support the need for more staff.

• Keep your goals secondary until (and if ever) you can win your boss' trust.

Do this and you might win over your boss to help support your career path. He still won't care about you, but it will be more valuable to him to help than crush your will to work.

And if nothing works, remember: this too shall pass. But you may need to help things along, so stop reading this and get cracking on your resume.

How about you? Have you found successful methods of dealing with office bullies? Do you think it's wrong to subordinate fully to the bad boss? Do you think some bosses are so bad that there's no way to manage them? And what about my first list? Is it tongue-in-cheek, or do you think it's what really happens?

Rabu, 08 Oktober 2008

Menuju Kepemimpinan HR yang Mumpuni


Budi Sulistyo: Menuju Kepemimpinan HR yang Mumpuni
Senin, 15 September 2008 - 11:30 WIB

Kalau Anda masih berkeyakinan bahwa seorang pemimpin HR harus membangun kewibawaan dari sikap formal, kaku dan bahkan galak, maaf, lebih baik Anda tak usah kenal dengan Budi Sulistyo. Direktur HR PT Pluit Propertindo ini barangkali lebih cocok menjadi seniman ketimbang orang yang duduk di belakang meja untuk mengelola karyawan di sebuah perusahaan. Tapi, siapa bilang manajemen HR itu bukan seni? Dan pria kelahiran Yogyakarta, 15 Agustus ini menunjukkan bahwa menduduki jabatan pimpinan HR bukanlah sekedar berurusan dengan rekrut-merekrut orang, mengembangkannya serta kapan dan bagaimana menaikkan gaji karyawan. Melainkan, lebih dari itu, harus bisa menjadi teladan, dan siap menjadi tempat bagi karyawan untuk "mengadu".

"Saya datang paling pagi, menyiapkan semua sendiri tanpa sekretaris, semua saya kerjakan sendiri. Pintu ruangan saya selalu terbuka untuk masalah-masalah non kantor. Ada yang datang mengeluh kesulitan soal uang, saya nggak akan kasih dia uang tapi saya kasih pemecahannya. Ada lagi yang mau kawin, bingung gimana caranya ngelamar, ya udah saya lamarin, gampang kok."

Ditemui di kantornya di Kawasan CDB Pluit, Jakarta Utara pada suatu pagi, Budi tampak kasual dan santai dengan kemeja putih garis-garis yang digulung lengannya. Sambil ngobrol, ia bisa tidak sadar terus mengulung lengan bajunya sampai ke atas siku. Gaya bicaranya blak-blakan, setiap pertanyaan yang dilontarkan kepadanya dikomentari dulu dengan satu-dua kalimat bernada canda, baru kemudian mulai serius menjawab. Kadang, ia tertawa geli mendengar pertanyaan yang diajukan, dan secara spontan mengeluarkan celetukan, misalnya "pertanyaannya serem amat!" Namun, tiba-tiba ia bisa menjadi sangat tertutup ketika disinggung hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya. Ketika ditanya soal latar belakang pendidikan misalnya, ia menyahut cepat, "Nggak usah deh."

Tertutup mungkin bukan kata yang tepat untuk menilai pria berambut agak gondrong tersebut. Kerendahan hati yang dijaganya, agaknya telah membuat ia tak ingin terkesan pamer atau arogan di mata orang lain. "Kuliah saya banyak soalnya, malu saya. S-1 ada beberapa, S-2 juga beberapa, yang jelas semuanya selesai dan saya kuasai dengan manis dan saya tempuh di universitas yang nggak jelek."

Lalu, dia bercerita. "Dulu, saya sekolah engineering, dimarahi terus karena kalau bikin laporan keuangan salah memulu. Ya sudah, saya sekolah keuangan. Selesai, saya justru disuruh menggantikan orang keuangan. Dari situ, lalu ada tuntutan untuk mengambil S-2 Keuangan Internasional, lalu ada kesempatan lagi sekolah tentang perkotaan...yang jelas dari semua ilmu yang saya dapat, intinya ada tiga, pertama orang itu harus berjalan lurus, kedua, dapatkan atau cari informasi yang benar, ketiga, jangan lupa ibadah."

***

Budi mengawali kariernya di bidang properti, dan telah berpindah-pindah di beberapa perusahaan dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Keuangan, sebelum kemudian bergabung dengan perusahaan yang sekarang sebagai Direktur HR dua tahun lalu. "Ini untuk pertama kalinya saya full di HR, dan awalnya saya merasa kiamat, buangan.Tapi setelah saya masuk, lho kok semua bisa saya pahami dengan baik. Saya jadi berubah pikiran, merasa sudah masuk surga. Saya kira saya di neraka."

PT Pluit Propertindo didirikan oleh dua pemegang saham, masing-masing PT Griya Emas Sejati dan PT Jakarta Propertindo dengan tugas pertama membuat dan mengelola Emporium Pluit, sebuah mall yang kini tengah dikejar penyelesaiannya. Sebagai pemimpin HR di sebuah perusahaan baru, Budi harus memulai segalanya dari nol. Tanggung jawabnya tak lain menyiapkan orang-orang yang tepat agar proyek tersebut selesai tepat waktu. Apa yang dilakukannya pertama kali? "Saya tanya ke CEO, strateginya mau gimana. Dia menjelaskan soal batas waktu, target pengunjungnya dan kelas tenant-nya. Posisi kita di pintu gerbang Jakarta, kalau bisa orang-orang yang masuk dari Cengkareng dan Tanjung Priok pertama kali melihat mall kita. Jadi, saya perlu orang berkelas untuk mengerjakannya."

Dalam idelalisasi Budi, orang berkelas yang dimaksud, pertama, punya dedikasi atas profesi, kedua, punya visi untuk mewujudkan yang terbaik yang bisa dia persembahkan, ketiga, mau bekerja all out dan keempat, harus selalu ingat Yang Maha Kuasa. Untuk mendapatkan kriteria tenaga kerja seperti yang diharapkan itu, diakuinya tidak gampang. Oleh karenanya Budi menempuh berbagai jalur, dari pasang iklan di koran dan lembaga rekrutmen online hingga pendekatan tertentu untuk level pemimpin. "Orang-orang yang saya dengar punya kemampuan dan jam terbang tinggi, saya dekati untuk diajak bergabung. Orang HR harus punya pendengaran yang bagus." Intinya, sebagai pemimpin HR, Budi harus bisa meyakinkan CEO bahwa dirinya merekrut orang yang tepat.

Budi memang belum bisa mengklaim bahwa usahanya tersebut telah sampai pada satu kata akhir: sukses. Namun, setidaknya ia bisa mengatakan, "Sejauh ini, kita masih on track." Semua itu didukung oleh latar belakang Budi yang memang seorang engineer, yang tak asing dengan seluk-beluk proyek bangunan. Dari pergulatannya selama dua tahun terakhir dengan masalah SDM, Budi sampai pada kesimpulan bahwa menjadi orang HR, terutama yang berasal dari non-HR, pertama kali bukanlah soal mengerti atau tidak ilmunya, melainkan, "Saya harus memberikan the best people untuk the best result, itu yang harus saya pahami. Bukan metode kerja untuk menyelesaikan proyek, tapi menyediakan orang yang punya metode kerja tepat dan hasilnya bagus."

***

Budi memang punya segalanya yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin HR yang ideal. Kalau secara praktis sering dikatakan, bahwa orang HR harus mengerti bisnis dan keuangan, maka Budilah orangnya. Dari sisi ini, dia merasa bahwa HR selama ini telah banyak disalahpahami. "Saya lebih paham keuangan. Dengan memahami ilmu HR, saya melihat ada satu paradigma yang terbaik. Selama ini orang HR dianggap kelas tiga, tapi setelah saya pahami, ternyata 99,99 persen perusahaan itu sakit karena HR-nya, yang salah membuat keputusan, salah merekrut orang, salah membangun metode kerja dan sebagainya."

Syukurlah, menurut Budi, sekarang banyak CEO yang sudah memahami dengan baik peran penting HR, termasuk CEO di perusahaan tempat dia bekerja saat ini, yang melibatkan dirinya sejak awal dalam berbagai proses pengambilan keputusan. "Persaingan dalam bisnis properti saat ini begitu sengit, sehingga perlu analisis tentang lokasi mana yang cocok untuk membangun apa. Membangun mall di tengah dan pinggir kota berbeda, dan itu berpengaruh pada orang-orang yang bagaimana yang harus mengerjakannya. HR harus dilibatkan sejak awal ide, kalau enggak repot, bisa salah policy."

Bagi Budi, menjadi mitra-strategis saja tidak cukup. "Bagi saya, HR bukan sekedar mitra strategis, tapi pelaku agar perusahaan sampai pada visi dan misinya. Perusahaan kan kumpulan orang, bukan sekedar kumpulan saham, jadi apa pun strategi yang dibuat perusahaan, tanpa adanya HR yang kapabel untuk melaksanakan strategi itu, hasilnya nol, pasti salah."

Dengan jumlah karyawan sekitar 75 orang, Budi mengedepankan konsep organisasi HR yang kecil, dengan out put yang besar. "Saya hanya memiliki tiga orang plus satu asisten. Di bawah saya ada manajer HR yang membawahi dua supervisor masing-masing untuk rekrutmen serta training&development." Ia pernah diprotes gara-gara menaikkan gaji karyawan. Lho, kok bisa? Dia menaikkan gaji dengan syarat agar peraturan ditegakkan: harus datang tepat waktu, kerja dengan benar, tunduk pada aturan, menjalankan perintah atasan. "Rupanya itu sesuatu yang buruk buat mereka, lebih menakutkan daripada naik gaji ha ha ha."

***

Mengaku hobi makan asal bukan di restauran, Budi punya cerita yang tak ada habisnya mengenai makanan-makanan enak di berbagai daerah di Nusantara. Ia baru saja pergi ke Madura dan menikmati apa yang dinamakan nasi serpang dan sate klopo ondomohen. Kalau Anda bertemu atau berkenalan dengannya, sebut saja nama daerah asal Anda dan dia akan membuat Anda malu karena jauh lebih tahu mengenai tempat-tempat makan yang enak di kota kelahiran Anda sendiri. Budi juga mengoleksi baju batik dari berbagai daerah. Sebagai orang Jawa, ia mengidolakan tokoh wayang, namun tidak seperti umumnya orang Jawa yang mengagumi para ksatria, ia justru lebih memilih untuk belajar dari kearifan Hanoman Sang Kera Putih. Dia bicara tentang begitu banyak hal, dari kualitas SDM Indonesia hingga sistem pendidikan yang tidak mendukung lahirnya tenaga-tenaga kerja terampil, dari falsafah hidup Jawa yang dia pelajari dari ibunya hingga mengapa Mahapahit dulu sukses membangun kejayaan dan kemakmuran rakyatnya.

Dan, tentu saja, tentang kegelisahan-kegelisahan kecilnya pada banyak hal yang secara umum melekat pada karakteristik sumber daya manusia Indonesia. "Saya nggak bisa ngomong banyak ya, tapi jujur saja, banyak yang munafik." Lalu, dia membuat perbandingan dengan orang Jepang, dimana pimpinan dan bawahan bisa makan bersama-sama, di tempat yang sama, dengan porsi yang sama. "Kalau kita apa bisa? Belum tentu. Saya terbiasa kayak gitu. Saya terbiasa mengedepankan hati, bukan sekedar basa-basi, tidak hanya dalam soal tempat makan tadi, tapi juga dalam berpakaian. Misalnya harus pakai jas, safari, dasi...saya tak bisa pahami kalau ada orang membangun kewibawaan dari pakaian, ditambah ngomong Inggris yang sok tahu-sok tahu tapi kadang salah-salah, lagi! Intinya, orang HR itu harus membumi, kenal, bergaul dan bisa memecahkan semua masalah karyawan termasuk kalau ada yang mau cerai atau kawin lagi he he he...jadi bukan soal pakai dasi."

Dengan segala pandangannya itu, bukan berarti Budi menolak mentah-mentah formalitas. "Saya hanya akan bersikap formal ketika harus membuat keputusan yang mengandung risiko hukum, misalnya memecat orang....maksud saya begini ya, yang ada di HR itu mesti orang yang mumpuni dan saya mengarah ke? itu. Saya ngerti keungan dan paham orang keuangan itu seperti apa. Saya ngerti proyek dan marketing sehingga paham orang-orang seperti apa yang dibutuhkan untuk itu. Saya legal, yang memerlukan orang-orang yang bisa menyimpan rahasia. Kalau dalam dunia sepak bola ada yang namanya pemain tengah atau gelandang. Itu orang HR. Dia harus tahu persisi semuanya, satu yang tidak boleh, yakni menjadi kiper. Orang HR tak boleh membuat laporan keuangan. Apa lagi, Mas? Aku ngomong udah nggak karu-karuan."

Rabu, 23 Juli 2008

5S Elements--Sort, Shine, Set, Standardize & Sustain


5S is a method to reduce waste and optimise productivity through maintaining an orderly workplace and using visual cues to achieve more consistent operational results. Five S drives a cleaner environment and organises the workplace. It is one of the first Lean Manufacturing activities that companies implement on their Lean adoption. it can be much more than this if approached properly.
By implementing a 5s Training program you can rapidly have an impact on your production environment and facilities with a minimal expenditure. Most companies have reported 5% efficiency improvement in several month's, which is sustainable over time

When starting on your Lean Manufacturing campaign one of the first tools you will look to deploy is Five S. All our TOOLSETS are provided in electronic format allowing you to take control of your own programs.


The Five S pillars:

Sort (Seiri)

Set in Order (Seiton)

Shine (Seiso)

Standardize (Seiketsu)

and Sustain (Shitsuke)

Kamis, 19 Juni 2008

Menggapai Keunggulan Lewat Budaya Layanan

Menggapai Keunggulan Lewat Budaya Layanan

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, selama ini kita cukup bangga dengan predikat yang disematkan para wisatawan asing sebagai bangsa yang terkenal dengan keramah tamahannya.

Predikat sebagai bangsa yang memiliki budaya yang ramah tamah ternyata juga dilontarkan oleh Ron Kaufmann, seorang penulis buku best seller : “Up Your Service” dan “Lift Me Up” yang beberapa waktu lalu menjadi pembicara pada suatu seminar di Jakarta. Pria yang juga dikenal sebagai fasilitator dan pembicara berskala intrenasional ini menyebut bahwa orang-orang Indonesia adalah salah satu yang paling ramah dan hangat di dunia.

Dengan bimbingan, kerjasama, dan dukungan yang benar, Ron meyakini bahwa Indonesia dapat meraih kehebatan dalam budaya layanan. “Budaya layanan di Indonesia telah memiliki suatu keunggulan dari keramah tamahan orang-orangnya”, ucapnya saat seminar tersebut.

Ya, kehangatan, keramah tamahan serta sikap tepo seliro yang merupakan cirri budaya sebagai orang Timur seharusnya dapat menjadi modal untuk menunjang kualitas pelayanan dari setiap perusahaan yang berkecimpung di berbagai jenis industri. Bila Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pada suatu kesempatan pernah berharap agar service industry kita bisa mencapai level pelayanan yang world class quality dengan meningkatkan competitiveness, maka keramah tamahan yang merupakan kultur masyarakat kita bisa jadi merupakan factor untuk mewujudkan kualitas yang prima tersebut. “Competitiveness is going to be majored by how fast and best you can give the service”, ucapnya saat berbicara di International Quality Award 2007, bulan lalu.

Karena untuk mencapai the best quality in services tidak melulu hanya berbicara mengenai profesionalitas, kecepatan dan ketepatan dalam pelayanan saja. Sikap ramah tamah dalam pelayanan tentunya juga tidak bisa dikesampingkan. Hal inilah yang menurut Ron Kauffmann menjadi nilai lebih dari budaya pelayanan di Indonesia.
Budaya pelayanan seharusnya menjadi sesuatu yang dikedepankan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di semua jenis industri. Karena biasanya bila orang berbicara mengenai budaya pelayanan sering muncul anggapan bahwa hal tersebut hanya dibutuhkan di jenis pekerjaan dan bidang industri tertentu saja.

Sebut saja misalnya industri pariwisata, retail, airlines, dan industri lain yang menawarkan jasa. Sehingga hanya orang-orang yang bekerja di bidang tersebut atau orang yang berprofesi menawarkan jasa seperti sales, customer service, konsultan, yang harus memahami pentingnya budaya pelayanan dan menerapkannya sehari-hari.

“Secara umum, dalam perspektif kami, memiliki budaya pelayanan yang kuat sangat penting penting selama anda bekerja dengan sesama manusia”, ujar Joanne Esta Chong, Director of Marketing Up Your Service College, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pelatihan berbasis di Singapura.

“Ketika kita sebagai manusia berinteraksi, sebenarnya kita bertukar melayani. Saat kamu bertanya pada saya dan saya menjawab, saya berusaha melayani anda. Jika saya salah menjawab pertanyaan anda atau menjawabnya dengan buruk, itu kan tidak membantu anda”, ujarnya berfilosofi. Selanjutnya ia mengatakan bahwa keberadaan service culture di sebuah perusahaan sangat penting karena dapat membawa dampak positif. Karena jika kita dapat melayani orang lain di internal maupun eksternal perusahaan dengan baik, maka otomatis orang-orang yang berhubungan dengan pihak perusahaan itu akan merasa senang untuk bekerjasama.

“Jika itu terjadi, secara keseluruhan perusahaan akan memperoleh keuntungan. Perusahaan akan punya reputasi bagus karena selalu membantu orang untuk menyelesaikan masalah mereka. Selalu memberikan pertolongan, memberikan dorongan dan dukungan. Jadi saat perusahaan memiliki reputasi yang baik maka bisnis akan meningkat”, terangnya lagi.

Yang menarik adalah bagaimana kita membangun sebuah service culture di perusahaan kita. Karena tentunya tidak mudah untuk menanamkan service culture terutama di perusahaan yang bergerak di bidang non jasa ataupun kepada orang-orang yang bekerja di bidang non jasa. Hal itu juga diakui oleh wanita berdarah Singapura ini kepada HC. Ia menyebut salah satu cara yang efektif untuk membangun service culture adalah melalui training.

“Ada banyak cara untuk mengembangkan kultur. Seperti yang anda katakan bahwa sangat sulit untuk mengubah mindset. Kultur dapat dibentuk melalui cara-cara yang berbeda, salah satunya melalui training”, kata Joanne. Ia mengimbuhkan bahwa men-develop people dengan pola educational dan training dapat membantu meningkatkan service delivery sebaik mengubah mind set mereka.

Dalam membangun service culture di perusahaan, di dalam bukunya, Ron Kauffmann menyebut tiga hal yang menjadi kunci dalam pengembangan karyawan. Yang pertama adalah core service skills. Core service skill ini berkaitan dengan beberapa hal seperti understanding customers, improving existing service, creating positive impressions, generating value for customers, working with service partners inside and outside the company, resolving service problems dan learning from service evaluation results.

Yang kedua adalah complementary service skills. Yang termasuk di dalamnya adalah emphatetic listening, interpersonal communication, teamwork, project management leadership, supervision, cultural awareness, motivation dan emotional intelligence.

Sedangkan yang ketiga yaitu industry-specific service skills, yang diantaranya adalah product knowledge and process expertise, proficiency in your tools, technologies dan procedures.

Namun yang tak kalah pentingnya adalah tahap penerapan dari pelatihan yang telah dilakukan tersebut. Anda harus memastikan bahwa proses pembelajaran tidak hanya berhenti saat kegiatan training selesai dilakukan. Hal inilah yang menjadi tantangan utama menurut Joanne Esta Chong, “Jadi tantangan terbesar adalah agar orang-orang mengerti semuanya. Setiap individu memegang peranannya. Dan tidak hanya bisa mengerti konsep tapi juga menerapkannya. Jadi itu tantangan terbesarnya.”

Senin, 09 Juni 2008

Group Performance Management

Simply put, performance management includes activities to ensure that goals are consistently being met in an effective and efficient manner. Performance management can focus on performance of the organization, a department, processes to build a product or service, employees, etc. Information in this topic will give you some sense of the overall activities involved in group performance management. The reader would benefit from reviewing closely related topics referenced from the section , including basics concepts in performance management, organization performance management and employee performance management.