Kamis, 19 Juni 2008

Menggapai Keunggulan Lewat Budaya Layanan

Menggapai Keunggulan Lewat Budaya Layanan

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, selama ini kita cukup bangga dengan predikat yang disematkan para wisatawan asing sebagai bangsa yang terkenal dengan keramah tamahannya.

Predikat sebagai bangsa yang memiliki budaya yang ramah tamah ternyata juga dilontarkan oleh Ron Kaufmann, seorang penulis buku best seller : “Up Your Service” dan “Lift Me Up” yang beberapa waktu lalu menjadi pembicara pada suatu seminar di Jakarta. Pria yang juga dikenal sebagai fasilitator dan pembicara berskala intrenasional ini menyebut bahwa orang-orang Indonesia adalah salah satu yang paling ramah dan hangat di dunia.

Dengan bimbingan, kerjasama, dan dukungan yang benar, Ron meyakini bahwa Indonesia dapat meraih kehebatan dalam budaya layanan. “Budaya layanan di Indonesia telah memiliki suatu keunggulan dari keramah tamahan orang-orangnya”, ucapnya saat seminar tersebut.

Ya, kehangatan, keramah tamahan serta sikap tepo seliro yang merupakan cirri budaya sebagai orang Timur seharusnya dapat menjadi modal untuk menunjang kualitas pelayanan dari setiap perusahaan yang berkecimpung di berbagai jenis industri. Bila Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pada suatu kesempatan pernah berharap agar service industry kita bisa mencapai level pelayanan yang world class quality dengan meningkatkan competitiveness, maka keramah tamahan yang merupakan kultur masyarakat kita bisa jadi merupakan factor untuk mewujudkan kualitas yang prima tersebut. “Competitiveness is going to be majored by how fast and best you can give the service”, ucapnya saat berbicara di International Quality Award 2007, bulan lalu.

Karena untuk mencapai the best quality in services tidak melulu hanya berbicara mengenai profesionalitas, kecepatan dan ketepatan dalam pelayanan saja. Sikap ramah tamah dalam pelayanan tentunya juga tidak bisa dikesampingkan. Hal inilah yang menurut Ron Kauffmann menjadi nilai lebih dari budaya pelayanan di Indonesia.
Budaya pelayanan seharusnya menjadi sesuatu yang dikedepankan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di semua jenis industri. Karena biasanya bila orang berbicara mengenai budaya pelayanan sering muncul anggapan bahwa hal tersebut hanya dibutuhkan di jenis pekerjaan dan bidang industri tertentu saja.

Sebut saja misalnya industri pariwisata, retail, airlines, dan industri lain yang menawarkan jasa. Sehingga hanya orang-orang yang bekerja di bidang tersebut atau orang yang berprofesi menawarkan jasa seperti sales, customer service, konsultan, yang harus memahami pentingnya budaya pelayanan dan menerapkannya sehari-hari.

“Secara umum, dalam perspektif kami, memiliki budaya pelayanan yang kuat sangat penting penting selama anda bekerja dengan sesama manusia”, ujar Joanne Esta Chong, Director of Marketing Up Your Service College, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pelatihan berbasis di Singapura.

“Ketika kita sebagai manusia berinteraksi, sebenarnya kita bertukar melayani. Saat kamu bertanya pada saya dan saya menjawab, saya berusaha melayani anda. Jika saya salah menjawab pertanyaan anda atau menjawabnya dengan buruk, itu kan tidak membantu anda”, ujarnya berfilosofi. Selanjutnya ia mengatakan bahwa keberadaan service culture di sebuah perusahaan sangat penting karena dapat membawa dampak positif. Karena jika kita dapat melayani orang lain di internal maupun eksternal perusahaan dengan baik, maka otomatis orang-orang yang berhubungan dengan pihak perusahaan itu akan merasa senang untuk bekerjasama.

“Jika itu terjadi, secara keseluruhan perusahaan akan memperoleh keuntungan. Perusahaan akan punya reputasi bagus karena selalu membantu orang untuk menyelesaikan masalah mereka. Selalu memberikan pertolongan, memberikan dorongan dan dukungan. Jadi saat perusahaan memiliki reputasi yang baik maka bisnis akan meningkat”, terangnya lagi.

Yang menarik adalah bagaimana kita membangun sebuah service culture di perusahaan kita. Karena tentunya tidak mudah untuk menanamkan service culture terutama di perusahaan yang bergerak di bidang non jasa ataupun kepada orang-orang yang bekerja di bidang non jasa. Hal itu juga diakui oleh wanita berdarah Singapura ini kepada HC. Ia menyebut salah satu cara yang efektif untuk membangun service culture adalah melalui training.

“Ada banyak cara untuk mengembangkan kultur. Seperti yang anda katakan bahwa sangat sulit untuk mengubah mindset. Kultur dapat dibentuk melalui cara-cara yang berbeda, salah satunya melalui training”, kata Joanne. Ia mengimbuhkan bahwa men-develop people dengan pola educational dan training dapat membantu meningkatkan service delivery sebaik mengubah mind set mereka.

Dalam membangun service culture di perusahaan, di dalam bukunya, Ron Kauffmann menyebut tiga hal yang menjadi kunci dalam pengembangan karyawan. Yang pertama adalah core service skills. Core service skill ini berkaitan dengan beberapa hal seperti understanding customers, improving existing service, creating positive impressions, generating value for customers, working with service partners inside and outside the company, resolving service problems dan learning from service evaluation results.

Yang kedua adalah complementary service skills. Yang termasuk di dalamnya adalah emphatetic listening, interpersonal communication, teamwork, project management leadership, supervision, cultural awareness, motivation dan emotional intelligence.

Sedangkan yang ketiga yaitu industry-specific service skills, yang diantaranya adalah product knowledge and process expertise, proficiency in your tools, technologies dan procedures.

Namun yang tak kalah pentingnya adalah tahap penerapan dari pelatihan yang telah dilakukan tersebut. Anda harus memastikan bahwa proses pembelajaran tidak hanya berhenti saat kegiatan training selesai dilakukan. Hal inilah yang menjadi tantangan utama menurut Joanne Esta Chong, “Jadi tantangan terbesar adalah agar orang-orang mengerti semuanya. Setiap individu memegang peranannya. Dan tidak hanya bisa mengerti konsep tapi juga menerapkannya. Jadi itu tantangan terbesarnya.”

Tidak ada komentar: