Tampilkan postingan dengan label Klinik HR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Klinik HR. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 Februari 2009

8 Do's and Don'ts for Job Descriptions in '09

8 Do's and Don'ts for Job Descriptions in '09
Here are BLR's editors' do's and don'ts for worthwhile job descriptions that will really support HR operations.

1. DO give specifics
For example, rather than stating that a maintenance worker "keeps up equipment," it is better to spell out the position's requirements, which might include performing routine maintenance on assembly machines, including adjusting settings; cleaning and lubricating shafts, gears, and bearings; and dismantling and replacing defective parts, etc.

2. DO use accurate adjectives
Include adjectives that describe the pace of work ("deadline-driven," "fast-paced") or the work environment ("enclosed area," "noisy setting"), but avoid flowery and overly long descriptions ("cozy but comfortable work environment that encourages creativity").

3. DON'T use subjective terms
Avoid using words that are subject to differing interpretations. Instead of saying you seek a certain attitude, cooperation, or initiative, describe expected outputs, different constituencies with whom this position interacts, and the nature of those relationships (such as "reports to," "provides support to," "supervises").

4. DON'T rely on abbreviations or jargon
A job description should be clear to applicants and employees. Abbreviations and jargon that are specific to your organization, and not to your industry, should be avoided or explained.

5. DON'T use words that raise a question of discrimination
Avoid language that would be questionable in a job listing. For example, don't use words such as "youthful" or "able-bodied."

6. DON'T list unreasonable expectations
Most managers hope their employees will exceed their expectations and take on tasks and responsibilities beyond what's required in the position, but avoid the temptation to include standards that don't currently apply to this job.

7. DON'T list excessive qualifications or experience
If you include more than what is needed to competently perform the position, you will end up with bored, overqualified workers and you will limit your ability to place otherwise qualified candidates in the position.

8. DON'T include anything derogatory or specific about a person who previously held the position
Job descriptions are not the place to air grievances or disappointments about individuals who previously held the position. You can use past experiences to help ensure all necessary information is included, but make sure you describe only the job.

What's the state of your organization's job descriptions? Up to date? Accurate? Compatible with the Americans with Disabilities Act (ADA)? Good work! However, if you are not so sure that your job descriptions are as well executed as they should be (or if you've never even written them), you're not alone. Thousands of companies fall short in this area.

It's easy to understand why. Job descriptions are not quick to do, and they are not easy-what with updating and management and legal review, especially for the ADA's requirement of a split off of essential vs. nonessential functions in the description. Wouldn't it be great if they were available, already written?

Actually, they are. We have more than 500, ready to go, covering every common position in any organization, from receptionist right up to president. They are in an extremely popular BLR program called the Job Descriptions Encyclopedia.

First created in the 1980s, the "JDE" has been constantly refined and updated over time, with descriptions revised or added each time the law, technology, or the way we do business, changes.

Senin, 27 Oktober 2008

Mengembangkan Karyawan dengan Jurus Kungfu Panda

Mengembangkan Karyawan dengan Jurus Kungfu Panda
Selasa, 15 Juli 2008 - 15:00 WIB

Film animasi Kungfu Panda yang sampai sekarang masih diputar di bioskop-bioskop di Jakarta karena larisnya, selain memberi hiburan yang menyegarkan juga merupakan sumber hikmah berlimpah yang bisa diambil manfaatnya bagi para manajer, trainer, atasan maupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengelola karyawan. Anda yang kebetulan belum menonton film ini, atau bahkan yang sudah pun, mungkin jadi bertanya-tanya, bagaimana ceritanya sebuah film --animasi lagi!-- bisa dijadikan bahan pembelajaran untuk mengelola dan bahkan mengembangkan karyawan?

Pada dasarnya, kisah film ini sederhana saja. Seekor panda jantan gemuk bernama Po digadang-gadang ayahnya untuk mewarisi pengelolaan bisnis restauran mie miliknya yang terkenal lezat. Suatu hari sang ayah pernah bilang, ada resep rahasia yang kelak harus diketahui oleh Po. Namun, harapan sang ayah berantakan karena Po tanpa tersangka-sangka terpilih (oleh takdir) menjadi Pendekar Naga yang harus menyelamatkan kehidupan desanya. Untuk itu, Po harus dilatih kungfu terlebih dahulu. Namun, bagaimana mungkin sedang ia hanyalah si gemuk yang susah bergerak dan tahunya makan enak? Dalam keputusasaannya, Master Shi Fu sang guru kungfu tiba-tiba menemukan cara untuk memungkinkan potensi Po untuk dikembangkan secara maksimal sesuai harapan.

Alhasil, Po pun akhirnya menguasai ilmu kungfu tingkat tinggi. Tugasnya sekarang, sebelum mengalahkan musuh yang mengancam kehidupan seluruh desa, memecahkan rahasia Kitab Naga demi kesempurnaan ilmunya. Tapi, kitab tersebut ternyata hanyalah lembaran kosong. Po pun kehilangan harapan, lalu kembali kepada ayahnya yang pengusaha restauran mie. Saat itulah, sang ayah membisikkan rahasia resep kelezatan mie yang dulu dijanjikannya. Apa kata sang ayah? "Tidak ada rahasia. Mie itu lezat karena kita yakini lezat." Po mendapat inspirasi dari penuturan ayahnya itu, bahwa Kitab Naga itu memang kosong dan dirinya hanya harus yakin mampu mengalahkan musuh yang sudah menantinya.

Dari sekelumit ringkasan di atas, kita bisa menarik butir-butir yang berharga untuk membantu mengembangkan potensi karyawan:

1. Rahasia untuk menjadi istimewa tak lain adalah keyakinan bahwa Anda memang istimewa.

Bangkitkan prinsip seperti itu pada diri setiap karyawan. Kalau kita berpikir diri kita spesial, unik, memiliki keunggulan, beda dari yang lain, dan berharga maka kita pun akan mendapatkan dorongan dari dalam untuk melakukan hal-hal yang istimewa.

2. Terus berusaha mewujudkan mimpi (sampai) menjadi kenyataan.

Po yang gemuk, tertatih-tatih menaiki tangga padepokan dan baru beberapa langkah saja sudah lelah, tidak begitu saja pantang menyerah. Kegigihannya terus dipertahakna hingga akhirnya ia bisa menguasai kungfu. Jangan biarkan pikiran negatif menghalangi kita untuk meraih impian, apalagi kemudian menyerah. Tanamkan pada karyawan bahwa kemarin adalah sejarah, esok adalah misteri dan hari ini adalah anugerah. Kegagalan masa lalu tidak boleh membayangi langkah kita, demikian juga ketakutan akan masa depan. Hidup adalah perbuatan, kata sebuah iklan. Berbuatlah hari ini, yakni hari yang telah dihadiahkan Tuhan pada kita.

3. Kita tidak akan berhasil mengembangkan orang lain, sebelum kita percaya dengan kemampuan yang dimiliki orang itu, juga kemampuan kita sendiri.

Master Shi Fu awalnya menolak melatih Po karena menilai bahwa Po adalah pilihan yang salah. Lagi pula, mana mungkin melatihnya dalam waktu singkat? Banyak manajer atau atasan yang belum-belum sudah memberi label pada seorang karyawan sebagai "tidak berbakat" dan penilaian-penilaian sejenis. Selain merugikan karyawan yang bersangkutan, juga membuat sang manajer itu sendiri juga kehilangan kepercayaan diri untuk mengembangkannya.

4. Temukan "sesuatu" dari diri karyawan dan manfaatkanlah hal itu sebagai cara untuk mengembangkan dan memotivasi mereka.

Shi Fu akhirtnya melihat bahwa kegemaran Po makan bisa dijadikan "pintu masuk" untuk memberi pelajaran-pelajaran kungfu. Setiap karyawan adalah satu keunikan, temukan itu untuk mengeluarkan seluruh potensinya. Ibarat rambut sama hitam, tapi setiap orang berbeda-beda dalam faktor yang membangkitkan motivasi mereka.

5. Tidak ada kebetulan.

Faktor kebetulan hanya terjadi pada cerita-cerita fiksi murahan. Dalam mengelola dan mengembangkan karyawan, buang jauh-jauh harapan pada kebetulan. sebab, kebetulan itu tidak ada, yang ada adalah usaha yang sungguh-sungguh dalam melihat dan menghargai setiap potensi individu.

portalhr.com

Rabu, 08 Oktober 2008

Memisahkan THR antara Muslim dan Non-Muslim

Compensation & Benefit

Pertanyaan
Memisahkan THR antara Muslim dan Non-Muslim
Kantor saya sebelumnya membayarakan THR untuk semua karyawan sama pada Hari Raya Idul Fitri. Tahun ini, kami adakan perubahan dengan THR untuk yang muslim diberikan pada Hari Lebaran, dan untuk yang non-muslim pada Hari Natal. Bagaimana cara penghitungan THR yang non-muslim ini bila tahun sebelumnya dia mendapat prorate dan tahun ini dimundurkan ke Desember (karena berarti ke Desember lebih dari 1 tahun).

Hastuti Nurrahayu - PT. Erka Anugrah Pratama, Jakarta

Jawaban
Sayang Anda tidak memberikan data perhitungan prorate-nya yang dilakukan pada 2007. Berdasarkan asumsi bahwa pada 2007 Anda menghitung hak THR pekerja non-Kristen/Katholik tersebut ke Desember 2007, maka hak THR mereka pada 2007 sudah pas dan benar. Misalnya begini: Para pekerja tersebut pada Desember 2007 masa kerja baru 5 bulan. Maka, hak THR mereka pada 2007 = 5/12 X Upah 2007, dan sudah dibayarkan dalam bulan Oktober 2007 bersama dengan Idul Fitri 2007.

Bahwa perusahaan pada 2008 mengubah sistem dengan membayarkan THR pekerja Kristen/Katholik tersebut ke Desember 2008, maka hak THR mereka pada 2008 tetap saja 1 bulan upah (dia sudah bekerja lebih dari satu tahun). Intinya, para pekerja tersebut pada 2008 mendapat THR penuh.

Semoga membantu.

Kamis, 10 Juli 2008

Status Karyawan Setelah Perusahaan Dijual ke Pihak Lain

Pertanyaan
Status Karyawan Setelah Perusahaan Dijual ke Pihak Lain
1. Perusahaan tempat saya bekerja saat ini sahamnya telah dijual 100% ke pihak lain. Tapi, dari informasi yang saya dapat, karyawan tidak akan diberi pesangon karena ada kesepakatan dengan pemilik baru bahwa masa kerja dianggap dilanjutkan di perusahaan yang baru (tidak ada PHK). Apakah memang ada aturan seperti itu?

2. Hitungan masa kerja itu dimulai sejak awal kontrak atau sejak jadi karyawan tetap?


Jawaban
1. Hubungan kerja antara pekerja dengan suatu perusahaan, ketika perusahaan tersebut dibeli (akuisisi) atau merger oleh/dengan perusahaan lain dapat:
-- diputuskan, dengan pekerja memperoleh hak-haknya sesuai UU, dan masa kerja di perusahaan baru mulai dari "nol"; atau:
-- nyambung terus di perusahaan baru, tanpa harus PHK dengan pemilik lama.

2. Masa kerja dihitung sejak awal kontrak, pada saat pekerja menandatangani perjanjian kerja, bukan saat ia diangkat/ditetapkan menjadi pekerja tetap.

Rabu, 18 Juni 2008

Atasi Stress Ketika menjalani Psikotes

Rahasia mengatasi stress saat menjalani psikotes / tes psikometri

Bagi Anda yang pernah menjalani psikotes mungkin pernah merasakan sakit perut, tangan tiba-tiba keringatan, detak jantung yang berlebihan, atau suasana hati yang tertekan saat bersiap menjalani psikotes. Anda tidak sendirian, sebagian besar orang mengalaminya. Bagaimana mengatasinya, inilah rahasia mengatasi stress dari consultanthr :

1. Ingat untuk sarapan atau makan sebelum tes dimulai. Ini penting agar tubuh Anda tidak menderita dan Anda bisa kosentrasi menjawab soal tanpa gangguan kelaparan.
2. Bersikap setenang mungkin. Ingatlah kegelisahan pada tingkat tertentu adalah wajar
3. Hindari memperlihatkan kegelisahan Anda. Anda harus tampak percaya diri karena perilaku Anda secara umum berada dalam pengamatan seperti halnya hasil tes Anda
4. Jika tiba-tiba menghadapi masalah, yang pertama dilakukan adalah JANGAN PANIK. Jika panik, maka tubuh Anda akan bereaksi negatif sehingga Anda tidak bisa berpikir dengan tenang. Mintalah bantuan pengawas jika Anda menghadapi masalah, pengawas pasti akan membantu Anda.
5. Nyamankan diri Anda. Pelajari teknik-teknik relaksasi atau visualisasi yang sesuai dengan diri Anda untuk meredakan ketegangan (Anda dapat pelajari dari buku-buku relaksasi/visualisasi yang ada di toko buku)
6. Buat posisi dimana Anda berada menjadi senyaman mungkin. Misal jika meja atau kursi Anda bergoyang, cari kertas untuk mengganjalnya.
7. Bekerjalah seefisien mungkin. kerjakan cepat namun tidak terburu-buru
8. Hindari membuang-buang waktu dengan mencari soal “jebakan” karena Anda tidak bisa menemukannya dengan mudah
9. Ingatlah makin banyak soal yang Anda kerjakan, makin besar kemungkinan Anda mendapatkan nilai tinggi
10. Sesekali pandanglah sekeliling Anda, ambil napas dalam-dalam, pejamkan mata, dan luruskan kaki. Ini akan membantu meredakan ketegangan yang timbul dalam diri Anda
11. Jangan putus asa jika pertanyaan terasa sulit. Pertanyaan itu mungkin sama sulitnya bagi orang lain
12. Jangan cemas jika pesaing Anda tampak bekerja lebih cepat ketimbang Anda. Tidak ada jaminan bahwa jawaban mereka benar
13. Jika Anda merasa tidak enak badan, katakan pada pengawas. Tidak ada untungnya diam dalam penderitaan
14. Jangan terlalu memaksa diri. Percayalah Anda telah melakukan hal yang terbaik.
15. Selalu berpikir positif. Pikiran positif membuat tubuh Anda bereaksi positif, timbal baliknya adalah Anda menjadi nyaman dengan situasi atau kondisi yang ada.
Selamat menjalani tes psikometri. Sukses untuk Anda.

Rabu, 11 Juni 2008

Menentukan Jumlah Staf yang Efektif dan Efisien

Pertanyaan
Cara Praktis Menentukan Jumlah Staf yang Efektif dan Efisien
Saat ini tempat kerja saya sedang membentuk suatu struktur organisasi yang baru, dan kami ingin melakukan manpower planning. Adakah cara yang praktis untuk menentukan jumlah staf yang efektif dan efisien dalam suatu unit kerja? Buku apa saja yang bagus untuk dijadikan referensi dalam soal ini?
Jawaban
Proses penentuan jumlah pegawai melalui analisis manpower planning dapat dilakukan dengan dua cara, yakni ratio analysis dan workload analysis. Metode ratio analysis adalah cara untuk mengestimasi kebutuhan jumlah tenaga kerja berdasar rasio antara faktor tertentu (misalnya jumlah pendapatan) dengan jumlah karyawan yang dibutuhkan (misalnya jumlah pegawai yang diperlukan). Dalam konteks perusahaan Anda (Bursa Efek Indonesia), maka faktor yang bisa dijadikan patokan untuk menentukan kebutuhan tenaga kerja bisa berupa jumlah emiten, atau jumlah pendapatan (revenue) selama setahun, atau nilai kapitalisasi pasar. Dengan mematok rasio tertentu, maka Anda akan bisa mengestimasi berapa kebutuhan tenaga kerja yang ideal. Contoh, kalau pendapatan perusahaan Anda selama setahun Rp 50 milyar, maka jumlah pekerja sebaiknya sekitar 500 (rasio 1 : Rp 100,000,000). Contoh lain, kalau jumlah emiten 200 perusahaan, maka jumlah karyawan sebaiknya sekitar 400 (1 : 2). Lalu, berapa patokan angka rasio yang ideal? Nah, di sini Anda bisa melakukan perbandingan dengan perusahaan sejenis di negara lain. Misalnya, di Bursa Efek Thailand, berapa perbandingan antara pendapatan setahun mereka dengan jumlah karyawan; atau perbandingan antara jumlah emiten dengan jumlah karyawannya.Metode rasio ini juga bisa diterapkan untuk menentukan jumlah pegawai di bagian support (IT, HR and GA, Finance) dengan jumlah pegawai di bagian core function. Angka rata-rata yang dipatok adalah 15 %. Artinya kalau jumlah total perusahaan Anda adalah 500, maka total karyawan dibagian support itu sebaiknya berkisar pada angka 75. Metode kedua adalah dengan cara workload analysis. Metode ini merupakan proses untuk menghitung beban kerja suatu fungsi tertentu dalam perusahaan. Dari perhitungan ini kemudian dapat ditentukan berapa jumlah kebutuhan ideal pegawai yang dibutuhkan. Secara spesifik, terdapat tiga langkah kunci untuk melakukan workload analysis. Yang pertama adalah menentukan output utama dari suatu fungsi tertentu, dan kemudian mengidentifikasi rangkaian aktivitas kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan output tersebut. Langkah berikutnya, mem-break down rangkaian aktivitas menjadi satuan tugas yang lebih rinci dan spesifik, serta mengekelompokkan satuan tugas tersebut berdasar tingkat kesulitan/kompleksitasnya. Langkah selanjutnya adalah melakukan proses perhitungan jumlah waktu total yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masing-masing satuan tugas tersebut. Dari sini akan dapat dihitung jumlah total waktu yang digunakan untuk menghasilkan keseluruhan output utama dari fungsi yang dianalisis.� Jumlah total waktu yang dibutuhkan inilah yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk menghitung jumlah ideal pegawai yang dibutuhkan.
Terdapat beberapa referensi yang membantu untuk melaksanakan proses di atas, antara lain 1. Edward J. Folk, Methods Analysis and Work Measurement, Mcgraw Hill2. C.R.Wynne- Roberts and George Kanawaty, Introduction to Work Study, International Labour Office

Selasa, 10 Juni 2008

From Labor to Human Capital

Pertanyaan
Dari Buruh ke Human Capital, Apa Bedanya?
Dewasa ini istilah-istilah dalam manajemen HR terus berubah. Human Resources berkembang menjadi Human Capital. Dulu kita hanya mengenal istilah buruh, lalu berubah menjadi pegawai, karyawan dan seterusnya. Apa sih sebenarnya perbedaan dari istilah-istilah itu? Apakah semata hanya biar lebih "gaya" atau memang ada makna di baliknya yang lebih mendalam? Mohon penjelasan.
Jawaban
Pertanyaan yang menarik. Menurut saya, ungkapan buruh, pegawai dan karyawan pada dasarnya sama esensinya. Yakn,i mereka bekerja pada orang lain dan mendapat gaji secara reguler (harian, mingguan, atau pun tahunan). Hanya memang istilah buruh sering diidentikkan dengan pekerjaan level bawah, dan terutama diberlakukan untuk industri manufaktur (pabrik) dan pertambangan. Istilah yang sama juga sering dipakai dalam dunia politik (misalnya kita mengenal partai buruh di Inggris atau Australia). Di samping itu, "buruh" juga lebih familiar untuk mereka yang beraliran “kiri”, sebab para pendiri paham sosialisme semacam Karl Marx memakai istilah ini untuk mengkontraskan dengan pemilik modal (kapitalis). Istilah human resources (sumber daya manusia) mulai berkembang pada tahun 80-an untuk menggantikan kata “personnel” (dulu dikenal nama departemen personalia, sekarang berubaha nama menjadi departemen sumber daya manusia). Perubahan istilah ini diharapkan tidak untuk keren-kerenan saja; namun lebih menyangkut perubahan filosofi dan paradigma. Jika dulu ketika masih menggunakan nama departemen personalia, urusan karyawan hanya menyangkut segi administrasi belaka. Artinya, aspek-aspek strategis yang menyangkut pengembangan karyawan tidak dipandang secara sungguh-sungguh. Sekarang, ketika berganti nama menjadi Human Resources, diharapkan pengelolaan karyawan benar-benar ditempatkan dalam kerangka besar strategi perusahaan. Begitu juga para pengelolanya, mereka juga diharapkan mampu menjadi strategic partner bagi top management dalam membawa kinerja perusahaan menuju kejayaan sejati. Nah, beberapa tahun terakhir ini, mulai muncul istilah baru yang ”lebih keren”, yakni human capital (sebenarnya istilah ini sudah diperkenalkan sejak 1955 oleh Gary Becker dalam bukunya yang berjudul Human Capital. Melalui buku inilah, Becker kemudian meraih nobel ekonomi). Lalu apa itu human capital? Intinya, faktor manusia – jika dikelola dengan bagus-- merupakan modal yang mampu memberikan return on investment yang dahsyat, dan memiliki “harga” yang jauh lebih mahal dibanding aset fisik seperti pabrik dan tanah. Sebagai contoh, Microsoft dan Google memiliki aset yang jauh lebih sedikit dibanding misalnya, Boeing atau Ford, namun nilai saham perusahaan mereka jauh lebih tinggi (hal ini tentu dikarenakan, Microsoft dan Google memiliki modal manusia –inovasi/kreativitas, modal otak– yang jauh lebih unggul). Hanya saja, banyak orang yang agak “rikuh” dengan ungkapan Human Capital ini. Beberapa waktu lalu, salah seorang profesor dari Universitas Airlangga, Surabaya –dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besarnya– mempersoalkan ungkapan human capital ini. Menurutnya, istilah ini kesannya menyamakan manusia dengan modal finansial (kapital); seolah-olah setiap individu harus dikuantifikasi dan diukur imbalannya berdasar indikator keuangan perusahaan. Menurut saya, pokok persoalannya mungkin lebih pada “rasa bahasa”. Karena kata ”capital” selama ini identik dengan uang, dengan sesuatu yang cenderung materialistik, maka menggabungkan kata human dengan capital rasanya kok memang jadi kurang ”pas”. Namun, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ”modal insani”, maka rasanya menjadi lebih elegan.