Motivation v Inspiration
Friday, 18 April 2008
According to the founder of the Art of Living Foundation Sri Sri Ravi Shankar in a recent lecture in Jakarta on ethics and business, there is a fundamental difference between motivation and inspiration. And the best way for corporate leaders to practice business ethics is not to motivate the employees but rather to inspire them. Because motivation relies on external factors (such as the promise of rewards and the incentive of personal gain) as such, it is short lived and unsustainable. The motivation once fulfilled will be replaced by another form of dissatisfaction and so on in a never-ending cycle of want. The company ends up with a bunch employees that are almost always unhappy and certainly rarely giving their one hundred per cent.
Inspiration on the other hand comes from within - the desire to put one’s heart and soul into the company not because of greed or what one could get out of it while still employed there, but because one has a sense of belonging to the place and a sense of achievement when the company succeeds. Inspiration therefore, is key to the company’s lasting success.
This difference between motivation and inspiration interests me because the failure to practice good ethics in this country (from the top leaders all the way down to all levels of Indonesian society) is I feel precisely due to our over reliance on externalities to shape our ethical values and determine our actions. We do not act. We react. Leaders do not inspire. They blame. The majority of our people are over sensitive and easy to offend. They are not secure in their values and, like the high-maintenance spouse or employee, in constant need of reassurance, recognition and acknowledgment.
How does this over reliance on externalities affect the state of our ethics or lack of? Ethics are the moral principles that guide our behaviour. If our leaders and figures of influence display faulty ethics then we, the society as a whole will suffer and worse, be dragged into sharing the same view. We become an unethical nation. And our democracy is nothing more than the democratization of bad ethics.
Hence the plethora of uninspired rules and regulations and irrational reactions that we healthy-minded citizens have to put up with in this country. The examples are so many and ludicrous that they would be hilarious if only they remained a joke. For instance, in the Batu regency in a pathetic attempt to minimize prostitution, female masseuses are now required to put padlocks on their trousers so they cannot be tempted to offer their sexual services. This reflects a way of (Medieval) thinking that puts the blame on external factors for an inherent weakness - in this case prostitution is caused by female temptresses and their easy-access clothing.
Banning the religious sect Ahmadiyah as heretical (again reminiscent of the Inquisition and persecution of old), in other words in suppressing the minority by the majority, far from inspiring the faithful, what we have is a manifestation of fear, narrow mindedness and insecurity that ill become a religion that has the greatest following. It is a case of blaming others for one’s own lack of faith.
This desire to control (whether by closing down You tube and other attempts to censor the internet and public opinion), preventing musicians from singing songs critical of corruptors, suing the media and intimidating others, far from displaying power is merely a reflection of powerlessness borne of a lack of ethics. What after all are ethics if not the moral compass inherent in individuals with sound mind and good judgment - the compass that has nothing to do with religion and piety but has everything to do with wisdom and self-knowledge. And the understanding that real power comes not from the ability to control others, but to control the self.
That this country is rich in religion and yet poor in ethics is one of the reasons why our development as a nation is difficult to achieve and sustain. It is because of this that this country is cursed with a dearth of inspiring leaders, an overdose of lawmakers motivated by greed and religious leaders motivated by fear. When blame is still the way we strengthen our faith and greed or suspicion the source of our motivation, then our values rest on a very fragile foundation indeed. For it is a foundation based on ignorance and unless we lighten up as a nation (literally and in the sense of getting enlightened) we will find ourselves dragged back into the middle ages where women wore chastity belts and heretics burned at the stake.
© Desi Anwar
Tampilkan postingan dengan label Inspiration. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inspiration. Tampilkan semua postingan
Kamis, 23 Oktober 2008
Kamis, 12 Juni 2008
LOMPATAN PAUS...!

Pernahkan Anda bertanya-tanya bagaimana pelatih ikan paus dan lumba-lumba di Sea World bisa membuat Shamu paus seberat sembilan ton itu, melompat setinggi 7 meter keluar dari air dan memperagakan berbagai permainan ?
Mereka membuat si paus melompati lingkaran tali begitu tinggi dari permukaan air,jarak yang tak terbayangkan oleh kita. Ini benar-benar tantangan besar, sebesar tantangan yang Anda dan saya hadapi sebagai orang tua, pelatih, atau manajer.
Dapatkah Anda membayangkan cara khas yang akan dilakukan para manajer bila mereka harus menangani situasi seperti itu ?
Hal pertama yang mungkin akan kita lakukan adalah meletakkan tali itu langsung setinggi 7 meter, tidak ada gunanya meletakkannya lebih rendah, atau tak ada gunanya membanggakan kebodohan.
Kita menyebutnya penentuan sasaran, atau perencanaan strategi.
Jika sasarannya telah ditentukan dengan jelas, yang harus dilakukan sekarang adalah memikirkan cara untuk memotivasi si ikan paus.
Maka kita ambil seember ikan dan meletakannya tepat 7 meter di atas lingkaran tali itu.
Jangan berikan imbalannya bila si paus tidak mau beraksi. Lalu, kita harus memberikan pengarahan.
Kita membungkuk dari bangku kita yang bagus, yang terletak di tempat tinggi itu, dan berseru,
"Hai, paus! Melompatlah!"
Dan . . . . . . . . .si paus tetap di sana, tak bergerak sedikit pun.
Jadi, bagaimana para pelatih di Sea World itu melakukannya?
Prioritas mereka yang pertama adalah mempertegas perilaku yang mereka inginkan agar si paus melakukan ( berlatih ) berulang-ulang, dalam hal ini, membuat si paus atau lumba - lumba melompati lingkaran tali.
Dengan segala macam cara, mereka menciptakan lingkungan yang mendukung kaidah yang menjamin bahwa si paus tak mungkin gagal. Mereka memulainya dengan meletakkan lingkaran tali itu di bawah permukaan air,dalam posisi yang membuat si paus mau tak mau terpaksa melakukan apa yang diharapkan si pelatih.
Setiap kali si paus berhasil melewati lingkaran tali, dia mendapatkan ketegasan yang positifDia diberi hadiah ikan merah, dibelai-belai, diajak bermain-main, dan yang terpenting, mendapat penegasan.
Tetapi, bagaimana kalau si paus melompat di bawah lingkaran tali?
Tidak apa-apa, dia tidak akan dihukum dengan sengatan listrik, tidak ada kritik membangun, tidak ada omelan, dan tidak ada kata-kata peringatan dalam berkas pribadinya.
Paus hanya diajari bahwa perilaku yang negatif tidak akan diakui.
Penegasan positif adalah landasan dari kaidah sederhana itu, yang membuahkan hasil yang menakjubkan.
Dan ketika si paus berhasil lebih sering melompati lingkaran tali dari pada melompat di bawahnya, si pelatih meninggikan talinya. Kenaikan itu harus berangsur-angsur dan lambat sehingga si paus tidak kelaparan, baik secara fisik maupun secara emosi.
Pelajaran sederhana yang harus dipelajari dari para pelatih paus itu adalah merayakan keberhasilan secara wajar. (Celebrating Succes)
Saat masih di Astra International pada divisi Customer Care , team saya selalu memotivasi Cabang perusahaan yang nilai index kepuasaan pelanggannya tinggi dengan reward kepada " seluruh karyawan cabang ".Bahkan tidak tanggung - tanggung , sang Kepala Cabang pun diundang langsung ke kantor pusat untuk menerima langsung reward dari para petinggi dengan disaksikan seluruh karyawan pada kesempatan upacara bendera.
Tunjukkanlah keberhasilan dan hal-hal kecil yang kita inginkan terus diperlihatkan kepada si paus.( baca : karyawan )
Yang kedua, jangan terlalu mudah mengecam. Orang juga bisa merasakan kalau prestasi mereka mengecewakan. Yang mereka perlukan adalah uluran tangan menawarkan bantuan.
Tanpa kecaman atau hukuman sekalipun, orang tak akan melupakan kegagalannya dan biasanya tidak akan mengulanginya lagi.
Menurut pendapat saya, kebanyakan bisnis yang sukses dewasa ini melakukan hal yang benar lebih dari 95%.
Namun, berapa banyak waktu yang kita sisihkan untuk mengomel ?
Kita harus menciptakan suasana yang membuat orang tidak mengalami kegagalan.
Rayakanlah keberhasilan secara wajar , jangan mudah mengecam ... dan kita harus tahu seberapa tinggi kita harus meletakkan lingkaran tali itu.
R'
Langganan:
Postingan (Atom)